Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
NABI MUHAMMAD SAW. pernah bersabda bahwa Allah Swt. telah berfirman (yang artinya):
Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Karena itu, siapa saja yang merampas salah satunya dari-Ku, pasti Aku akan melemparkannya ke dalam api neraka. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Setidaknya ada dua ‘ibrah (pelajaran) yang dapat dipetik dari hadis qudsi di atas.
Pertama: terkait dengan keimanan. Dalam hal ini, seorang Muslim harus meyakini bahwa Allahlah yang pantas memiliki sifat sombong (al-kibr) dan takabur (at-takabbur). Ini adalah berdasarkan klaim Allah sendiri di dalam al-Quran yang menyifati Diri-Nya dengan Al-Mutakabbir, yang bisa bermakna ‘Yang Mahasombong’ atau ‘Yang Mahatakabur’. (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 23).
Menurut al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat ini, Allah Swt. menamai Diri-Nya dengan Al-Mutakabbir karena Allah sendiri menganggungkan Diri-Nya sebagai Pencipta alam ini (takabbara bi rubûbiyyatihi).
Dalam hal ini, Allah tidak ada tandingannya (Bukankah hingga detik ini tidak ada seorang manusia pun yang mampu menciptakan makhluk hidup, bahkan yang paling ‘sederhana’ sekalipun, semisal seekor lalat?!).
Kedua: Terkait dengan akhlak. Menurut al-Qurthubi pula, seraya mengutip hadis di atas, sifat sombong dan takabur pada Allah adalah terpuji, sedangkan sifat sombong dan takabur pada manusia adalah tercela.
Dalam hadis ini, jelas Allah telah mengaitkan ancaman api neraka—sebagai qarînah—dengan sifat sombong dan takabur, yakni bahwa siapa saja yang memiliki kesombongan dan ketakaburan, niscaya Dia akan melemparkannya ke dalam api neraka. Karena itu, berdasarkan hadis ini, seorang Muslim diharamkan untuk memiliki sifat sombong dan takabur.
Apalagi Nabi saw. secara lebih tegas pernah bersabda (yang artinya): Tidak akan masuk surga orang yang di dalam kalbunya ada sebesar biji sawi saja dari sifat sombong. (HR Muslim).
Setidaknya, ada dua ciri sifat sombong atau takabur yang haram dimiliki oleh seorang Muslim: (1) bathar al-haqq (menolak dan mengingkari kebenaran); (2) ghamth an-nâs (merendahkan orang lain dan cenderung merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain). Itulah yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. sendiri dalam lanjutan hadis riwayat Muslim di atas.
Sayangnya, hari-hari ini kita justru kerap menjumpai orang-orang (termasuk di kalangan Muslim) yang sombong dan takabur; sesuatu yang justru diharamkan secara tegas oleh Allah dan Rasul-Nya.
Secara individual, kita masih sering menjumpai orang-orang yang sombong dan takabur ini. Di antaranya adalah mereka yang gemar menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu—meskipun didasarkan pada dalil-dalil yang kuat yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah yang valid—datang dari orang yang kebetulan lebih muda, misalnya, baik dari sisi usia ataupun keilmuan; atau datang bukan dari orang atau kelompoknya, apalagi dari orang atau kelompok yang dibencinya. Mereka ini bukan saja sering menolak kebenaran, tetapi juga kerap merendahkan orang yang menyampaikan kebenaran itu. Mereka mengganggap dirinya dan organisasinyalah yang benar. Yang lain salah semua.
Mereka lupa terhadap ketawadhuan Khalifah Abu Bakar yang tidak segan-segan meminta dikoreksi oleh rakyatnya jika menyimpang dari kebenaran. Padahal Abu Bakar adalah Sahabat Nabi saw. paling dekat, yang pernah dipuji oleh Beliau dengan sabdanya, “Seandainya keimanan Abu Bakar ditimbang dengan keimanan seluruh manusia maka keimanan Abu Bakar tetap lebih berat.”
Mereka pun lupa terhadap kerendahhatian Khalifah Umar bin al-Khaththab yang tidak segan-segan bersedia dikoreksi oleh rakyatnya, bahkan dengan pedang sekalipun. Khalifah Umar pun tidak malu-malu untuk mengakui kebenaran pendapat seorang Shahâbiyah yang mengkritik kebijakan Khalifah yang membatasi jumlah mahar, yang memang bertentangan dengan nash al-Quran. Itulah Khalifah Umar, Sahabat Nabi saw. paling dekat setelah Abu Bakar, yang pernah dipuji oleh Beliau dengan sabdanya, “Seandainya ada nabi setelahku, maka Umarlah orangnya.”
Sementara itu, dalam skala yang lebih luas, kesombongan dan ketakaburan itu sangat tampak dalam perilaku manusia yang bukan saja tidak mau diatur oleh syariah Allah, tetapi bahkan menolak dan mengingkari syariah itu sendiri.
Dalam hal ini, ide sekularisme sesungguhnya ide yang mencerminkan kesombongan dan ketakaburan manusia. Sebab, ide ini menggariskan penolakan terhadap campur tangan Allah dalam mengatur kehidupan, dan merasa yakin bahwa manusia sendiri mampu mengatur dirinya sendiri. Ide ini kemudian mewujud dalam sistem demokrasi yang nyata-nyata hanya mengakui kedaulatan manusia dan menolak kedaulatan Allah.
Akibatnya, meskipun salah, sebuah produk aturan/UU akan mereka terima dan mereka sahkan selama didukung oleh mayoritas wakil rakyat di parlemen. Sebaliknya, meski benar dan bersumber dari syariah Allah, sebuah aturan/produk hukum akan ditolak mentah-mentah jika hanya didukung oleh kalangan minoritas di parlemen.
Bahkan tidak jarang, mereka yang anti syariah menuduh syariah Islam—yang notabene bersumber dari Allah Pencipta manusia—sebagai ketinggalan zaman, bertentangan dengan HAM, mememecah-belah bangsa, mengancam kebhinekaan, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Mereka lupa atau sengaja melupakan bahwa syariah Islam diturunkan justru sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Karena itu, kaum sekular, para demokrat/para pejuang demokrasi, dan mereka yang anti syariah hakikatnya adalah orang-orang yang sombong dan takabur. Sebab, Allah sendiri sebagai Pencipta mereka dan bahkan Pencipta seluruh alam ini telah mengklaim bahwa tidak ada hukum yang lebih baik selain hukum-Nya. (Lihat: QS al-Maidah [5]: 50).
Namun, mereka tetap tidak mengakuinya. Secara faktual pun, hukum-hukum sekular buatan manusia terbukti hanya membawa petaka dan krisis bagi umat manusia. Akan tetapi, mereka tetap enggan untuk berpaling kepada hukum-hukum Allah Swt.
‘Alla kulli hâl, selayaknya manusia-manusia yang sombong dan takabur takut terhadap ancaman Allah Swt. berikut ini (yang artinya):
Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya adalah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (QS al-A‘raf [7]: 36).
Na‘udzu billâh min dzâlik.
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. []