Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

Yang pertama kali akan dihisab pada seorang hamba pada Hari Kiamat kelak adalah shalatnya. Jika shalatnya baik maka akan baiklah semua amalnya. Jika shalatnya rusak maka akan rusak pula semua amalnya (HR ath-Thabrani).

Karena shalat-shalat fardhu dilakukan lima kali sehari, belum lagi jika ditambah dengan shalat-shalat sunnah, tentu tidak setiap saat seseorang melakukan shalat dengan khusyuk. Boleh jadi, bagi kebanyakan kita shalat lima waktu menjadi sekadar rutinitas tanpa ‘ruh’, kering dari kekhusyuan dan sunyi dari ketawadukan kepada Allah SWT. Padahal Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda, “Bila seseorang mengerjakan shalat pada waktu-waktu yang telah ditetapkan dengan wudhu yang sempurna, dengan khusyuk dan tawaduk, serta dengan berdiri, rukuk dan sujud yang dilakukan dengan baik, maka shalat yang demikian akan menjadi cahaya yang indah yang akan mendoakan pelakunya dengan kata- kata, “Semoga Allah memelihara engkau sebagaimana engkau telah memelihara aku.” Sebaliknya, bila seseorang tidak menjaga shalatnya, tidak berwudhu dengan sempurna serta tidak berdiri, rukuk dan sujud dengan khusyuk, maka shalatnya akan menjelma menjadi wajah yang buruk dan gelap sembari berkata, “Semoga Allah menyia-nyiakanmu sebgaimana engkau telah menyia-nyiakan aku.” Lalu atas kehendak Allah, shalatnya dilemparkan ke muka pelakunya seperti kain yang buruk (HR ath-Thabrani).

Selain itu, shalat adalah amal manusia yang paling awal akan dihisab oleh Allah SWT sebelum amal-amal manusia yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya amal yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Bila shalatnya baik maka sungguh pelakunya akan berbahagia dan sukses. Namun, bila shalatnya buruk/rusak maka pelakunya akan menyesal dan merugi. Seandainya ada kekurangan dalam shalat fardhunya, Allah SWT akan berfirman kepada malaikat, “Carilah dalam catatan, mungkin hamba-Ku suka mengerjakan shalat-shalat sunnah.” Lalu disempurnakanlah kekurangan shalat fardhunya dengan shalat-shalat sunnahnya. Kemudian seluruh amal-amal yang lainnya akan dihisab seperti itu juga (HR at-Tirmidzi).

Bahkan baik-buruknya shalat menjadi penentu amal-amal lainnya, sebagaimana juga sabda Rasulullah saw., “Yang pertama kali akan dihisab pada seorang hamba pada Hari Kiamat kelak adalah shalatnya. Jika shalatnya baik maka akan baiklah semua amalnya. Jika shalatnya rusak maka akan rusak pula semua amalnya.” (HR ath-Thabrani).

Jika demikian, tentu sudah seharusnya setiap Muslim menyempurnakan terlebih dulu amal shalatnya sembari menyempurnakan amal-amalnya yang lain. Sayangnya, karena seringnya seorang Muslim mengerjakan shalat (minimal lima kali sehari), shalat seolah bukan perkara yang istimewa dan penting lagi. Dalam arti, meski tetap dikerjakan, shalat tersebut tidak lagi dianggap sebagai amal yang tetap harus dijaga dan dipelihara dengan sempurna, khususnya dari sisi kekusyukannya. Tidak jarang, orang mengerjakan shalat akhirnya sekadar demi ‘gugur kewajiban’. Gejala ini kadang tidak hanya melanda orang-orang awam, bahkan mereka yang disebut sebagai para aktivis dakwah sekalipun.

Jika ini benar terjadi, tentu saatnya kita merenungkan kembali, sejauh mana kualitas shalat-shalat yang selama ini telah kita lakukan. Sebab, pahala shalat setiap orang berbeda-berda, bergantung pada kualitas shalatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Bila seseorang selesai mengerjakan shalat, maka dia akan mendapat sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga atau seperdua pahala shalatnya (HR Abu Dawud).

Lalu bagaimana ukuran atau standar shalat yang sempurna itu? Yang paling kentara untuk menilai kesempurnaan shalat seseorang adalah dengan memperhatikan apakah shalatnya itu bisa mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar ataukah tidak. Sebab, Allah SWT secara tegas telah berfirman (yang artinya): Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS al-Ankabut [29]: 45). Saat menafsirkan ayat ini, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang shalatnya tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar maka tidak ada shalat baginya.” (HR Ibn Abi Hatim dan Ibn Mardawaih).

Karena itu, jika seseorang yang tidak pernah ketinggalan menunaikan shalat-shalat fardhunya, apalagi ditambah dengan shalat-shalat sunnahnya, tetapi ia masih suka melakukan kekejian dan kemungkaran (korupsi, berbuat cabul, pamer aurat, berkata-kata kotor, berbohong, berlaku zalim terhadap rakyat, diam terhadap kemungkaran, membiarkan hukum-hukum Allah dicampakkan alias tidak ditegakkan, dll) maka boleh jadi shalatnya tidak sempurna, bahkan mungkin sia-sia belaka. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. Wa mâ tawfîqî illâ billâh. []

=======================================

Yuk Gabung Channel ⤵
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar

➡ Website Resmi: https://ariefbiskandar.com/

Yuk Download Ebook Gratis : https://lynk.id/uabi

Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.