Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).

SUATU ketika Sahabat Umar bin al-Khaththab ra. menjumpai Baginda Rasulullah saw. di bilik beliau. Saat Umar ra. masuk, ia mendapati Baginda Rasulullah saw. sedang berbaring di atas sehelai tikar yang terbuat dari anyaman pelepah daun kurma. Saat beliau bangkit, tampak jelas bekas-bekas pelepah daun kurma itu menempel di badan beliau yang putih bersih. 

Di atas tikar itu ada sebuah bantal yang terbuat dari kulit binatang, yang juga dipenuhi oleh daun dan kulit pohon kurma. Umar ra. berkata sebagai berikut: 

Aku memperhatikan keadaan bilik Rasulullah saw. Tampak ada tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan sedikit gandum di sudut bilik itu. Selain itu, aku tidak melihat apa pun. Aku menangis menyaksikan kondisi yang memprihatinkan itu. Rasulullah saw. sampai bertanya, “Mengapa engkau menangis?”

Aku menjawab, “Bagaimana saya tidak menangis, wahai Rasulullah. Saya sedih melihat bekas tikar yang engkau tiduri di badanmu yang mulia. Saya pun prihatin sekali melihat keadaan kamar ini. Bangsa Persia dan Romawi yang tidak beragama dan tidak menyembah Allah saja hidup dengan penuh kemewahan. Mereka hidup dikelilingi oleh taman yang di tengahnya mengalir sungai. Adapun engkau adalah utusan Allah, tetapi engkau hidup dalam keadaan miskin.”

Saat saya berkata demikian, beliau bersabda, “Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah oleh engkau, kenikmatan dan kebahagiaan di akhirat tentu lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia yang sementara ini.” (Al-Kandahlawi, Fadhâ’il al-A’mâl, 570-571).

Apa yang dinyatakan dan dipraktikkan oleh Rasulullah saw. ini tentu sejalan dengan apa yang Allah SWT kehendaki. Sungguh Allah SWT sangat menghendaki agar para hamba-Nya lebih memperhatikan  kehidupan akhiratnya daripada urusan kehidupan dunianya. Ini karena, sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT:

وَلَلْأَاخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولٰى

Sungguh kehidupan akhirat adalah lebih baik daripada kehidupan dunia (TQS adh-Dhuha [93]: 4).

Allah SWT pun tegas berfirman:

وَمَنْ أَرَادَ الْأَاخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولٰٓئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُورًا

Siapa saja yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah Mukmin, mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik (TQS al-Isra’ [17]: 19).

Allah SWT pun berfirman:

انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ  ۚ وَلَلْأَاخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجٰتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلًا

Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Tentu kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaannya (daripada kehidupan dunia) (TQS al-Isra’ [17]: 21).

Sebaliknya, Allah SWT mencela bahkan mengancam hamba-Nya yang hanya fokus pada kehidupan dunia ini saja seraya mengabaikan urusan akhiratnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

مَّنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُۥ فِيهَا مَا نَشَآءُ لِمَنْ نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُۥ جَهَنَّمَ يَصْلٰىهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا

Siapa saja yang menghendaki hanya kehidupan sekarang (dunia), Kami akan segerakan bagi dirinya di dunia itu apa yang Kami kehendaki, dan Kami tentukan bagi dirinya Neraka Jahanam. Dia akan memasuki nereka itu dalam keadaan tercela dan terusir (TQS al-Isra’ [17]: 18).

Seorang Muslim sejatinya menyadari keberadaannya di dunia ini hanyalah sementara. Karena itulah Rasul saw. pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar ra.: 

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ

“Jadilah kamu di dunia  ini seperti orang asing atau seorang pengembara serta persiapkanlah dirimu menjadi penghuni kubur.” (HR at-Tirmidzi).

Hadis di atas bermakna, “Janganlah kamu terlalu cenderung pada dunia. Jangan menjadikan dunia sebagai tanah air. Jangan menanamkan ke dalam jiwamu angan-angan bahwa dunia itu abadi. Jangan terlalu fokus pada dunia. Jangan terlalu terikat dengan dunia sebagaimana orang asing tidak akan terlalu betah tinggal di tempat yang bukan tanah airnya. Jangan pula terlalu disibukkan oleh perkara dunia, sebagaimana orang asing yang selalu merindukan pulang kepada keluarganya.” (Al-Malibari, Al-Isti’dad li al-Mawt wa Su’al al-Qubr, I/1).

Dunia tentu berbeda dengan akhirat. Dunia itu sementara. Akhirat itu abadi. Kehidupan di dunia itu penuh tipudaya. Kehidupan akhirat itulah yang hakiki. Dunia itu tempat beramal. Akhirat itu tempat penghisaban dan pembalasan.

Karena itulah Allah SWT mengingatkan manusia agar jangan menunda-nunda untuk beramal. Sebab, saat kematian datang, kesempatan untuk beramal itu pun telah hilang. Allah SWT berfirman: 

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلٰىٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِينَ وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَآءَ أَجَلُهَا  ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

Belanjakanlah sebagian dari rezeki yang telah kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia berkata, “Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku sebentar saja agar aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang salih?” Allah sekali-kali tak akan menangguhkan (kematian) seseorang jika telah datang waktu kematiannya. Allah Mahatahu atas apa saja yang kalian kerjakan (TQS al-Munafiqun [63]: 9-11).

Allah SWT pun berfirman:

وَجِاىٓءَ يَوْمَئِذٍۢ بِجَهَنَّمَ  ۚ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسٰنُ وَأَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰى يَقُولُ يٰلَيْتَنِى قَدَّمْتُ لِحَيَاتِى

Pada hari itu diperlihatkan Neraka Jahanam. Pada hari itu sadarlah manusia, tetapi kesadarannya itu tidaklah berguna lagi bagi dirinya. Manusia berkata, “Alangkah baiknya seandainya dulu aku melakukan kebajikan untuk hidupku.” (TQS al-Fajr [89]: 23-24).

Alhasil, sebelum terlambat, sebelum nanti menyesal di Akhirat, marilah kita segera bertobat. Tentu dengan segera meninggalkan segala bentuk maksiat dan tidak menunda-nunda untuk taat kepada Allah SWT.

Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. []