Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (QS adz-Dzariyat [51]: 56).

Beberapa hari lagi, kawanku si Fulan genap berusia 38 tahun. Itu berarti jatah hidupnya telah berkurang lagi setahun dibandingkan tahun lalu. Dia mengajakku untuk merenung. Dia lalu berandai-andai sebagai berikut:

Andai jatah hidup kita di dunia ini 60 tahun, dengan usia kita saat ini 38 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 22 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 50 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 12 tahun lagi. Andai jatah hidup kita di dunia ini 40 tahun, berarti sisa hidup kita tinggal 2 tahun lagi. Bagaimana jika jatah umur kita sudah habis dan besok atau lusa Malaikat Ijrail mencabut nyawaku? Duh! Betapa singkatnya hidup 38 tahun. Jika demikian, betapa tidak terasanya menjalani sisa hidup yang lebih pendek lagi; 22 tahun, 12 tahun, 2 tahun, atau malah cuma dua hari lagi…

Mendengar ’ocehan’-nya, aku mulai tersentak. Diam-diam, aku pun mulai merenungkan kata-katanya. Ia lalu melanjutkan:

Andai selama 38 tahun itu kita tidur selama delapan jam perhari, berarti sepertiga hidup kita dipakai untuk tidur, yakni sekitar 12,7 tahun. Andai sisa waktu kita perhari yang tinggal 16 jam itu kita pakai 4 jam untuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, bengong dan melakukan hal-hal yang tak berguna, berarti sisa waktu kita perhari tinggal 12 jam. Sebab, yang 12 jamnya dipakai untuk tidur dan melakukan hal-hal tadi. Dua belas jam berarti setengah hari. Jika ia dikalikan 38 tahun, berarti 19 tahun (separuh umur kita) hanya kita pakai untuk tidur dan melakukan hal-hal yang tak berguna.

Aku semakin termenung. Diam-diam aku makin hanyut dalam kontemplasinya. Ia pun bertutur lagi:

Dalam usia 38 tahun itu, kita, misalkan, baru mulai bekerja efektif pada usia 28 tahun. Berarti kita bekerja sudah 10 tahun. Jika rata-rata kita bekerja 8 jam perhari, berarti kita telah menghabiskan waktu kita untuk bekerja 1/3×10 tahun=3,3 tahun. Artinya, dari 38 tahun itu kita menghabiskan total kira-kira 22,3 tahun hanya untuk tidur dan bekerja mencari dunia; termasuk nonton tivi, ngobrol ngalor-ngidul, santai, bengong dan melakukan hal-hal tak berguna.

Kita coba membandingkannya dengan aktivitas ibadah kita, juga dakwah kita. Andai shalat kita yang lima waktu, ditambah shalat-shalat sunnah, memakan waktu total hanya satu jam perhari, berarti kita hanya menghabiskan 365 jam pertahun untuk shalat. Itu berarti hanya sekitar 15 hari pertahun. Andai kita baru benar-benar menunaikan shalat umur 15 tahun (saat mulai balig), berarti kita baru menghabiskan sekitar 270 hari (=15×18 [38-15]) untuk shalat. Artinya, selama 38 tahun, kita menunaikan shalat tidak sampai setahun penuh. Bayangkan, selama 38 tahun, shalat kita tidak sampai setahun!

Bagaimana dengan aktivitas dakwah kita? Andai dakwah kita baru kita mulai pada usia 20 tahun dan hanya memakan waktu rata-rata 2 jam perhari, berarti kita menghabiskan waktu kira-kira 526 hari untuk berdakwah. Artinya, kita hanya menghabiskan waktu 1,5 tahun saja untuk berdakwah.

Aku semakin larut dalam kata-katanya. Emosiku tak tertahan. Namun, si Fulan kawanku terus saja ’berceloteh’. Ia lalu mengajakku untuk merenungkan kembali firman Allah SWT (yang artinya): Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Ia kemudian bertutur lagi:

Saat merenungkan kembali ayat itu, hatiku menangis. Betapa tidak. Allah menciptakan hidupku dan memberikan usia sekian puluh tahun kepadaku sesungguhnya agar aku gunakan untuk beribadah kepada-Nya. Namun, kenyataannya, hidupku habis untuk tidur dan bekerja mencari dunia, juga melakukan hal yang sia-sia. Sebaliknya, hanya sebagian kecil usiaku aku habiskan untuk ibadah dan dakwah. Baiklah, bekerja pun termasuk ibadah, tentu jika diniatkan untuk ibadah dan jika dimaksudkan demi mecari harta yang halal untuk menafkahi anak-istri. Begitu pun tidur, bisa bernilai ibadah jika memang kita niatkan untuk ibadah dan jika tidur kita memang dalam rangka menghilangkan kelelahan dan kepenatan, agar kita bisa kembali bekerja dan beribadah. Pertanyaannya: Bagaimana jika semua itu ternyata tidak bernilai di sisi Allah? Bagaimana jika amal-amal kita ternyata tidak diterima oleh Allah? Bagaimana jika shalat kita yang jarang sekali khusyuk itu ditolak oleh Allah? Bagaimana pula jika dakwah kita pun tak dipandang oleh Allah?

Betul. Kita tidak boleh pesimis. Kita harus penuh harap kepada Allah, semoga semua amal-amal kita Dia terima. Namun, kita pun sepantasnya khawatir jika semua amal yang selama ini kita anggap amal shalih dan bernilai pahala, ternyata sebagian besarnya tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Na’udzu billâh. Kita memang tidak berharap seperti itu.

Tak terasa, aku pun mencucurkan air mata, tak kuasa menahan tangis, seraya berdoa, dengan doa Nabi Adam as.:

Ya Allah, Tuhan kami. Selama ini kami telah menzalimi dan menganiaya diri kami sendiri. Jika saja Engkau tidak mengampuni dosa-dosa kami dan mengasihi kami, tentu kami termasuk orang-orang yang merugi.

Aku pun bedoa dengan doa Abu Nawas, ulama dan penyair Arab terkenal:

Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi penghuni Surga Firdaus-Mu. Namun, aku pun tak mungkin kuat menahan panasnya api neraka-Mu. Karena itu, terimalah tobatku dan ampunilah dosa-dosaku. Sebab, sesunguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa, termasuk dosa-dosa besar. Amin.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []

=======================================

Yuk Gabung Channel ⤵
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar

➡ Website Resmi:https://ariefbiskandar.com/

Yuk Beramal Jariyah ⤵:
https://darunnahdhah.or.id/donasi/

Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.