Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).

DI TENGAH situasi kegembiraan merayakan Hari Kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad saw., banyak umat tidak menyadari, bahwa Rabi’ul Awwal sekaligus juga merupakan bulan penuh duka. Khususnya bagi para Sahabat Rasulullah saw. sekitar 14 abad yang lalu. Pasalnya, pada bulan Rabi’ul Awwal pula Rasulullah saw. diwafatkan oleh Allah SWT.

Ya, dalam riwayat yang mu’tabar, beliau  wafat pada Hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal 11 H. Beliau wafat dalam usia sekitar 63 tahun. Persis pada tanggal dan bulan yang sama dengan tanggal dan bulan kelahiran beliau.

Saat Rasulullah saw. wafat, Anas bin Malik ra. berkomentar, “Aku tak pernah melihat satu hari pun yang lebih baik dan terang benderang daripada hari kehadiran Rasulullah saw. di tengah-tengah kita. Aku pun tak pernah melihat satu hari yang lebih buruk dan gelap daripada hari wafatnya Rasulullah saw.” (HR al-Darimi dan al-Baghawi).

Beliau wafat sekitar waktu Dhuha sudah mulai memanas. Tak hanya Anas bin Malik ra., hari wafatnya Rasulullah saw. juga dirasakan oleh para Sahabat beliau sebagai hari tergelap dalam hidup mereka (Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiiq al-Makhtuum, hlm. 402-403).

Ya. Dunia terasa gelap bagi mereka. Mereka bersedih karena berpisah dengan Al-Khaliil al-Musthafaa. Kalbu-kalbu mereka berguncang. Tak percaya bahwa kekasih mereka telah tiada. Karena begitu besarnya cinta mereka kepada Rasulullah saw., di antara mereka ada yang tak terima dengan kenyataan bahwa beliau telah wafat. Di antaranya adalah Umar bin al-Khaththab ra. Beruntung, beliau segera tersadar saat diingatkan dan dinasihati oleh oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra. (Ibnu Hajar, Fath al-Baari, 8/146).

Rasulullah saw. wafat setelah menyempurnakan tugasnya menyampaikan risalah dari Allah SWT.  Beliau wafat tidak lama–kurang dari tiga bulan–setelah turun QS al-Maidah ayat 3 kepada beliau. Di antara potongan ayat tersebut berbunyi:

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian…” (QS al-Maidah [5]: 3).

Saat ayat ini turun, sebagian Sahabat menangkap isyarat bahwa tidak lama lagi Rasulullah saw. akan dipanggil menghadap Allah SWT. Sebabnya, tugas beliau untuk menyampaikan risalah dari Allah SWT telah selesai. Islam sebagai agama sekaligus sistem kehidupan bagi umat manusia telah sempurna. 

Tentu tak ada sedikit pun kekurangan di dalam Islam. Sebabnya, al-Quran yang diturunkan kepada beliau sudah lengkap. Mampu menjawab dan menyelesaikan seluruh problem kehidupan umat manusia.  Tinggal diamalkan dan diterapkan. Tak perlu lagi umat manusia, apalagi umat Islam, mencari-cari solusi selain dari al-Quran. Tak perlu lagi mereka mencari-cari aturan dan sistem kehidupan selain dari al-Quran. 

Pertanyaannya: Lalu mengapa kaum Muslim saat ini malah berpaling dari al-Quran? Berpaling dari syariah-Nya? Seolah-olah al-Quran tidak sempurna. Seolah-olah syariah-Nya tidak lengkap. Seolah-olah Islam tidak mampu menjawab dan memberikan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia? 

Mereka malah memilih untuk membuat aturan hidup sendiri, dengan merujuk pada ideologi Kapitalisme sekuler, yang terbukti hanya menghasilkan kerusakan demi kerusakan seperti saat ini. Mereka seolah enggan menerapkan al-Quran (syariah Islam) yang berasal dari Pencipta mereka, Allah SWT. Padahal Allah SWT telah mengingatkan:

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta” (QS Tha-Ha [20]: 124).

Semoga umat ini segera sadar bahwa kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan mereka di dunia–dan terutama di akhirat–tidak akan pernah diberikan oleh sistem kehidupan apapun buatan manusia. Semua itu hanya akan diperoleh saat kehidupan umat ini diatur oleh al-Quran yang berasal dari Allah SWT, Pencipta manusia, yakni saat syariah Islam diterapkan secara kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. 

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah’alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []