Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

Dialah Allah Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia siapa yang terbaik amalnya (TQS al-Mulk [67]: 2).

Dzikrullâh (mengingat Allah) adalah amalan yang paling utama di sisi Allah SWT, sebagaimana firman- Nya (yang artinya): Sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar (keutamaannya) (TQS al-Ankabut:45).

Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Maukah aku kabari kalian dengan suatu amal yang paling baik dan paling suci di sisi Tuhan kalian, yang paling meninggikan derajat kalian di sisi-Nya…?” “Tentu saja,” jawab para Sahabat. Beliau lalu berkata, “Dzikrullâh (mengingat Allah).” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Terkait dengan hadis ini, Syaikh Zakaria al-Kandahlawi dalam Fadhâ’il al-A’mâl, menjelaskan bahwa keutamaan zikir ini berdasarkan keadaan umum. Sebab, dalam keadaan tertentu jihad, sedekah dan sebagaimna dipandang lebih utama.

Masalahnya, apa yang dimaksud dengan dzikrullâh (mengingat Allah)? Para ulama setidaknya membagi dzikrullâh menjadi tiga bagian. Pertama: zikir dengan lisan, yakni dengan memperbanyak melafalkan kalimat-kalimat thayyibah seperti istigfar, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dll. Dalam hal ini, Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Zikir yang paling utama adalah mengucapkan Lâ ilâha illâ Allâh.” (HR At-Tirmdizi, Ibn Majah dan Ahmad).

Kedua: zikir dengan kalbu (hati, akal), yakni dengan senantiasa memperbanyak tafakur (berpikir), murâqabah (merenung) dan muhâsabah (introspeksi diri). Di antara bagian dari tafakur adalah rajin menghadiri majelis-majelis ilmu, terutama ilmu-ilmu yang terkait dengan masalah fikih/syariah (halal- haram). Dalam hal ini, Rasulullah saw., bersabda, “Jika kalian melewati taman-taman surga, maka berhentilah dan masuklah ke dalamnya.” Para Sahabat bertanya, “Apakah taman-taman surga itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Majelis-majelis zikir.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).

Para Sahabat Nabi saw. ternyata memahami majelis zikir dalam hadis di atas sebagai majelis ilmu, yakni majelis yang membahas halal-haram, atau majelis yang membahas ihwal hukum-hukum syariah. Ini tentu bisa dipahami, karena dengan memahami halal-haram, setiap Muslim berpotensi untuk senantiasa terikat dengan hukum-hukum syariah dalam seluruh ucapan dan tindakannya. Ini sekaligus merupakan bentuk zikir yang ketiga: zikir dengan perilaku/perbuatan. Inilah zikir yang paling utama. Mengapa? Sebab, zikir dengan lisan dengan memperbanyak melafalkan kalimat-kalimat thayyibah termasuk ibadah sunnah saja. Zikir dengan kalbu, misalnya, dengan banyak menghadiri majelis ilmu adalah bagian dari thalab al-‘ilmi, yang memang hukumnya wajib. Namun, tentu ini tidak akan banyak berarti saat ilmu yang didapat tidak diamalkan dalam kehidupan. Bahkan jika ilmu dipelajari sekadar untuk bersaing dengan para ulama, atau untuk memperdaya orang-orang bodoh, dan tidak untuk diamalkan, justru hal ini hanya akan mengundang azab Allah SWT. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang mencari ilmu demi bersaing dengan para ulama, memperdaya orang-orang bodoh, atau mencari perhatian manusia, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR at-Tirmidzi).

Adapun zikir dengan perilaku, yakni dengan selalu mengikatkan ucapan dan tindakan pada hukum-hukum Allah SWT, menunjukkan bahwa pelakunya, selain telah mempelajari dan memahami hukum-hukum Allah, juga berarti telah melakukan amal yang baik (hasan al-amal). Amal yang baik inilah sesungguhnya yang akan dinilai oleh Allah SWT, bukan semata-mata ilmunya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman (yang artinya): Dialah Allah Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia siapa yang terbaik amalnya (TQS al-Mulk [67]: 2).

Menurut Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, frasa ahsan al-‘amalâ di antaranya dimaknai dengan, “yang paling menahan diri dari hal-hal yang haram dan paling bersegera dalam menjalankan ketaatan.”

Mudah-mudahan kita semuanya mampu selalu mengingat Allah (zikrullâh), baik dengan lisan, dengan kalbu, dan terutama dengan perilaku. Jangan sampai lisan kita selalu basah dengan kalimat-kalimat thayyibah, kalbu (hati, akal) kita penuh dengan pengetahuan tentang hukum-hukum Allah, tetapi tindakan kita malah cerminan dari tindakan melupakan-Nya. Tentu tidak baik orang yang rajin menghadiri majelis-majelis zikir yang di dalamnya ia memperbanyak ucapan kalimat-kalimat thayyibah, bahkan dengan isak tangis penuh khusyuk, tetapi setelah keluar dari majelis-majelis itu dia pun tetap gemar menghadiri ‘majelis-majelis’ maksiat kepada Allah: tetap membuka aurat di hadapan khalayak, melakukan korupsi, membohongi dan menzalimi rakyat, tidak berlaku amanah, abai terhadap masalah-masalah yang menimpa umat, tetap menolak syariah-Nya untuk diterapkan dalam negara, dll.

Karena itu, marilah kita tak hanya berzikir di lisan atau sekadar berzikir dalam kalbu, tetapi lebih dari itu: berzikir kepada Allah SWT (baca: terikat dengan syariah-Nya) dalam setiap perilaku. Wa mâtawfîqî illâ billâh []

=======================================

Yuk Gabung Channel ⤵
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar

➡ Website Resmi:https://ariefbiskandar.com/

Yuk Download Ebook Gratis : https://lynk.id/uabi

Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.