Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik (QS al-Hasyr [59]: 19).
Dzikr (zikir) berasal dari akar kata dza-ka-ra (fi‘il mâdhî), yadzkuru (fi‘il mudhâri‘), dzikran (masdar). Secara etimologi, dza-ka-ra bermakna a-sya-ra ilâ (mengisyaratkan), aw-ra-da menyebut), ta-dzak-kara (mengingat), is-tadz-ka-ra (mengingat-ingat). Jika dikaitkan dengan nama Allah, kata tersebut bisa bermakna dza-ka-ra (mengingat) sab-ba-ha (mengagungkan, memuji), ta-laf-fa-zha bih (melafalkan, mewiridkan). Karena itu, secara etimologi, dzikrullâh (zikrullah) bermakna mengingat, mengagungkan/memuji, atau melafalkan/mewiridkan (nama) Allah. (Lihat: Atabik Ali-Ahmad Zuhdi Muhdlor, 1996: 933).
Zikir (adz-dzikr, adz-dzikrâ, adz-dzukrah) secara bahasa juga bisa bermakna menjaga sesuatu, sesuatu yang diucapkan lisan, lawan dari kata nisyân (lupa). Mengutip al-Fira, Ibn Mazhur menyebutkan bahwa kata dzikr berarti sesuatu yang disebut dan ditampakkan dengan lisan serta diingat dalam kalbu. (Ibn Mazhur, t.t.: 4/308). Hal yang sama juga dikemukakan oleh ar-Razi. Akan tetapi, dia menambahkan bahwa adz-dzikr juga bermakna ash-shayt (nama baik, keagungan) dan ats-tsanâ’ (pujian), sebagaimana ketika Allah berfirman: Wa al-Qur’ân dzî ad-dzikr. (QS Shad [38]: 1). Artinya, “Demi al-Quran yang memiliki keagungan (dzî asy-syarf).” (Ar-Razi, 1995: 1/93).
Sementara itu, menurut al-Kalabdzi, zikir (adz-dzikr) hakikatnya adalah melupakan semua hal selain yang diingat (al-madzkûr). (al-Kalabadzi, t.t.: 1/103). Dalam konteks zikrullah, itu berarti, melupakan segala sesuatu, kecuali Allah.
Sementara itu, secara syar‘î, di samping digunakan juga sejumlah pengertian di atas, al-Quran menambahkan makna lain dari zikir (adz-dzikr) atau zikrullah (dzikrullâh). Contohnya adalah dalam
firman Allah berikut:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari dzikrî, maka baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Al-Baydhawi menafsirkan kata dzikrî dengan al-hudâ (petunjuk), yakni “sesuatu yang dapat mengingatkan hamba kepada-Ku dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Ku.” (Al-Baydhawi, 1996: 4/75). Al-Qurthubi menafsirkan kata tersebut dengan dîn (agama), tilâwah kitâb (membaca al-Quran), dan al-‘amal bi mâ fîh (mengamalkan isi al-Quran); juga bermakna mâ unzilat min ad-dalâ’il (semua dalil- dalil yang diwahyukan Allah), termasuk mengingat Rasulullah saw. (Al-Qurthubi, 1372 H: 11/258). Ibn Katsir memaknai kata tersebut dengan ’amr (perintah [Allah]) dan mâ anzala Allâh ‘alâ Rasûlih (wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya). Artinya, ayat tersebut bisa ditafsirkan dengan, “Siapa saja yang meyimpang dari perintah-Ku serta berpaling dari wahyu yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku seraya mengambil sesuatu dari selain-Ku.” (Ibn Katsir, 1401 H: 3/169). Lebih tegas, al-Baghawi memaknai kata tersebut dengan al-Quran, sehingga frasa a‘radha ‘an dzikrî berarti, “berpaling dari al- Quran dengan tidak mengimani dan mengikutinya.” (Al-Baghawi, 1985: 3/235).
Zikir (dzikr), sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah lawan kata dari nisyân (lupa, lalai). Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Allah pun menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik (QS al-Hasyr [59]: 19).
Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan, “Janganlah kalian lupa/lalai dari mengingat Allah (dzikrullâh) sehingga Allah akan melupakan amal-amal shalih kalian yang bermanfaat bagi kalian pada saat kalian dikembalikan, karena balasan itu sesuai dengan amal yang dikerjakan. Karena itu, Allah menyebut orang yang tidak mengingat-Nya sebagai orang-orang fasik, yakni keluar dari ketaatan kepada Allah, yang akan mengalami kebinasaan dan kerugian pada Hari Kiamat kelak.” (Ibn Katsir, 1401 H:4/243).
Walhasil, dari sekilas paparan di atas, zikir, atau lebih tepatnya dzikrullah (mengingat Allah), hakikatnya tidaklah sebatas mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah; sebagaimana ucapan tasbih, tahmid, tahlil, dan sejenisnya. Akan tetapi, yang lebih penting, zikir pada dasarnya adalah menjalankan ketaatan kepada Allah dengan cara melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, alias terikat dengan syariat-Nya. Dengan kata lain, sebagaimana kata Sa‘id bin Zubayr, setiap orang yang menjalankan ketaatan (kepada Allah) pada dasarnya termasuk orang yang berzikir kepada Allah. (Lihat: Muhammad bin ‘Alan, 2000: 183). Justru, inilah zikir kepada Allah yang paling utama. Sebab, terikat dengan syariah Allah, yakni halal dan haram, adalah wajib bagi setiap Muslim, sedangkan zikir dengan mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah sekadar sunnah saja. Logikanya, yang wajib tentu lebih utama dibandingkan dengan yang sunnah, meskipun yang sunnah juga jelas tidak boleh diabaikan. Pengertian ini sesuai dengan tafsiran Imam ‘Atha’ terhadap sabda Nabi saw. berikut:
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ يَا رَسُوْلُ اللَّهِ قَالَ حِلَقَ الذِّكْرِ
“Jika kalian melewati taman surga, berhentilah dan tambatkan kendaraan kalian.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu taman surga?” Beliau menjawab, “Halaqah (majelis) zikir.” (HR at-Tirmidzi).
Imam ‘Atha’ menafsirkan hilaqah adz-dzikr sebagai, “majelis halal dan haram,” yakni majelis yang membahas fikih atau hukum-hukum Allah. (Sayyid al-Bakri, t.t.: 1/14). Itulah majelis zikir yang sebenarnya. Sebab, hanya dengan itulah, seorang Muslim akan tahu hukum-hukum Allah, dan didorong untuk selalu terikat dengannya. Sebaliknya, berzikir dengan hanya memperbanyak kalimat tayyibah— meskipun mungkin disertai dengan tangisan—tidaklah akan bermakna apa-apa jika pada saat yang sama seseorang bermaksiat kepada Allah akibat keawamannya dalam memahami hukum-hukum Allah.
Mudah-mudahan, kita jangan sampai seperti yang disinyalir oleh Abu Al-Firaj, yang menyatakan bahwa ada orang-orang yang biasa menghadiri majelis (zikir) bertahun-tahun dengan senantiasa menangis dan penuh kekhusyukan, sementara mereka tetap terlibat dalam transaksi riba, melakukan penipuan dalam jual-beli, tidak memahami rukun-rukun shalat, menggunjing sesama Muslim, dan mendurhakai orangtua. Orang-orang semacam ini hakikatnya bukanlah ahli zikir, tetapi orang-orang yang telah disesatkan oleh iblis. Mereka merasa, bahwa dengan hadirnya di majelis zikir sambil menangis, dosa-dosa mereka telah dihapuskan (Abu al-Firaj, 1985: 1/475). Padahal di luar majelis, mereka tetap tidak mempedulikan hukum-hukum Allah, atau tetap membiarkan syariah-Nya dicampakkan. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. []
=======================================
Yuk Gabung Channel
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar
Website Resmi:https://ariefbiskandar.com/
Yuk Download Ebook Gratis : https://lynk.id/uabi
Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.