Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).

SETIAP  orang tentu pernah bermimpi. Mimpi baik atau buruk. Mimpi baik tentu menyenangkan. Bermimpi menjadi pejabat, menjadi pengusaha sukses, menjadi orang terkenal, menjadi kaya. Memiliki rumah mewah, mobil mahal, tabungan berlimpah, dll. 

Namun, karena hanya mimpi, rasa senang itu tentu sesaat. Ketika terjaga dari tidur, semua itu lenyap. Rasa senang pun tak ada bekasnya. Yang ada tinggal senyum simpul. Atau mungkin malah rasa sesal, mengapa semua itu hanya ada dalam mimpi? Semua yang menyenangkan di alam mimpi itu ternyata semu belaka.

Sebaliknya, mimpi buruk tentu menyesakkan dada  Bermimpi dikejar-kejar binatang buas, ditinggal orang yang dicintai, ditimpa bencana besar seperti tsunami, dll. 

Namun, rasa sesak di dada itu tentu hanya sejenak pula. Saat terjaga dari tidur, semua itu sirna. Yang ada malah rasa lega. Bahkan rasa syukur. Sebab, semua itu tidak benar-benar terjadi. Hanya sebatas mimpi. Semua yang menyesakkan dada di alam mimpi itu ternyata juga palsu belaka.

Namun, sadarkah kita, bahwa hidup di dunia fana ini pun hakikatnya seperti mimpi? “Ad-Dunya’ ka ahlam nawm (Dunia itu ibarat mimpi dalam tidur),” demikian kata sebagian ulama. Betapa tidak. Pangkat, jabatan, kekuasaan, kekayaan, kesenangan dan segala kebahagiaan di dunia ini pada dasarnya semu. Bukan sesuatu yang hakiki. Suatu saat, tentu saat kita meninggalkan dunia ini dan menghadap ke haribaan-Nya, semua itu hanya tinggal mimpi. Tinggal kenangan. Menjadi tak nyata. 

Demikian pula kemiskinan, kesengsaraan, kesulitan dan segala penderitaan. Semuanya palsu. Semuanya bakal tinggal mimpi. Tinggal kenangan. Menjadi tak nyata saat kita meninggalkan dunia ini dan menghadap kepada Allah SWT di Hari Akhirat nanti.

Kesenangan dan segala kebahagiaan hakiki tetaplah hanya di Akhirat nanti. Demikian pula kesengsaraan dan segala penderitaan hakiki.

Maka dari itu, benarlah pernyataan Imam Ali kw., sebagaimana dikutip oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, “An-Nas niyam[un], idza matu intabahu [Manusia itu tidur. Jika mati, dia terjaga].” (As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur bi Syarh al-Mawta wa al-Qubur, hlm. 30).

Melalui pernyataannya ini, Imam Ali kw. tegas ingin mengatakan, bahwa di dunia ini kebanyakan manusia tidak dalam keadaan sadar. Seperti orang yang tidur atau bermimpi. Hidupnya ia habiskan untuk urusan dunia. Mengejar pangkat, jabatan, kekuasaan, harta, perempuan, dan kepuasan material yang sesaat dan tidak seberapa. Tak jarang, untuk mengejar semua impiannya itu, ia tak peduli halal-haram, pahala-siksa, surga atau neraka. 

Pada saat yang sama, justru ia melupakan upaya untuk memperbanyak amal salih demi bekal di alam akhirat. Ia lupa, ia tak sadar, bahwa kebahagiaan hakiki dan nyata adanya di akhirat. Tentu saat ia mampu meraih surga dan mereguk segala kenikmatan di dalamnya dengan amal-amal salih yang dia lakukan saat di dunia. Dia baru ‘terjaga’ saat justru ajal menjemput dirinya. Saat itu dia baru menyadari bahwa semua yang dia raih saat hidup dunia—pangkat, jabatan, kekuasaan, harta, wanita, dll—hanyalah semu. Semuanya tinggal mimpi. Semuanya tinggal kenangan. Saat itu dia pun menyesal.

Keadaan ini persis seperti yang digambarkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw., “Tidaklah seseorang meninggal, kecuali dia pasti menyesal.” Sahabat bertanya, “Apa yang dia sesalkan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika dia pelaku kebaikan, dia akan menyesal, mengapa dia tidak melakukan lebih banyak lagi kebaikan. Jika dia pelaku keburukan, dia akan menyesal, mengapa dia tidak sejak awal berhenti melakukan keburukan.” (HR at-Tirmidzi).

Baginda Rasulullah saw. pun mengingatkan kita, bagaimana keadaan kita saat meninggalkan dunia ini. “Setiap orang yang mati itu,” sabda beliau, “akan diiringi oleh tiga perkara  Dua perkara akan meninggalkannya di belakang, sementara satu perkara akan tetap menyertainya hingga ke liang lahat. Tiga perkara yang mengiringi orang mati itu adalah: keluarganya, hartanya dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali, sementara amalnya akan tetap menyertai dirinya.” (HR Muslim).

Karena itu tentu mengherankan jika kebanyakan manusia malah disibukkan dengan urusan urusan mengejar harta dan kekayaan, jabatan, kekuasaan, dll—yang notabene bakal ia tinggalkan atau meninggalkan dirinya—jika semua itu sampai melupakan dirinya dari melakukan amal salih yang justru akan menjadi teman setianya hingga ke liang lahat.

Alhasil, pada akhirnya semua mimpi kita–yakni segala keadaan kita di dunia ini–pasti akan berakhir. Cepat atau lambat. Kapan mimpi kita berakhir? Tentu saat ajal menghampiri kita. Saat kita mati, segala kesenangan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dll benar-benar akan berakhir. Saat demikian, tak ada lagi waktu untuk bertobat kepada Allah SWT. Sebabnya, saat ajal tiba, pintu tobat benar-benar telah tertutup selama-lamanya.

Karena itu mari kita segera bertobat. Sekarang juga. Tanpa ditunda-tunda. Jika tidak, penyesalan di akhirat tentu tiada guna sama sekali.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []