Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
LEBIH dari satu setengah tahun telah berlalu genosida keji dilakukan oleh Zionis Yahudi terhadap bangsa Palestina. Namun, dunia seakan terdiam. Ribuan nyawa melayang. Ratusan ribu terluka. Jutaan lainnya hidup dalam ancaman yang sama.
Sayangnya, tidak ada upaya nyata untuk menghentikan kekejian tersebut. Tak seorang pun dari para penguasa dunia, terutama di negeri-negeri Muslim, yang berani bergerak mengerahkan pasukan mereka untuk melawan tindakan biadab ini. Hanya kecaman dan kutukan yang terdengar. Semuanya sekadar formalitas untuk menutupi kelemahan mereka.
Padahal sudah sangat jelas ditegaskan, baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah, bahwa kaum Muslim itu bersaudara. Persaudaraan mereka diikat oleh Aqidah yang sama: Aqidah Islam.
ALLAH SWT berfirman:
إِنَّمَا الْمًؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah kedua saudara kalian dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapatkan rahmat (QS al-Hujurat [49]: 10).
Dari ayat di atas tersurat bahwa siapapun, juga di manapun di seluruh dunia ini, asalkan Mukmin, adalah bersaudara. Ini karena dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan Aqidah. Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab (Lihat: Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, 8/3; Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 14/11).
Rasulullah saw. pun telah menegaskan:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضً
“Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu bangunan. Sebagiannya menguatkan sebagian lainnya.” (HR Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ahmad).
Di antara wujud persaudaraan sesama Muslim adalah adanya rasa cinta di antara mereka. Bahkan rasa saling mencintai di antara sesama Muslim dikaitkan dengan kelayakan mereka untuk memasuki surga-Nya. Jika tidak ada rasa saling cinta di antara mereka maka mereka tidak pantas masuk surga-Nya. Beliau bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan kalian belum sempurna keimanan hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim).
Mahalnya Harga Nyawa Seorang Muslim
Selain karena faktor persaudaraan yang sangat kuat, kewajiban membela kaum Muslim yang tertindas didasarkan pada fakta betapa mahalnya harga nyawa seorang Muslim.
Allah SWT menetapkan pembunuhan satu nyawa tak berdosa sama dengan menghilangkan nyawa seluruh umat manusia:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي اْلأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia (QS al-Maidah [5]: 32).
Allah SWT pun mengancam orang yang menghilangkan nyawa seorang Mukmin dengan ancaman yang sangat keras:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Siapa saja yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, balasannya ialah Neraka Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepada dia, mengutuk dia dan menyediakan bagi dia azab yang besar (QS an-Nisa`[4]: 93).
Begitu cintanya pada jiwa seorang Mukmin, Allah SWT mengancam akan mengazab semua penghuni dan langit seandainya bersekutu dalam membunuh seorang Muslim. Rasul saw. bersabda:
لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الأَرْضِ اجْتَمَعُوا عَلَى قَتْلِ مُسْلِمٍ لَكَبَّهُمُ اللهُ جَمِيعًا عَلَى وُجُوهِهِمْ فِي النَّارِ
Andai penduduk langit dan penduduk bumi berkumpul membunuh seorang Muslim, sungguh Allah akan membanting wajah mereka dan melemparkan mereka ke dalam neraka (HR ath-Thabarani).
Nabi saw. juga bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Kehancuran dunia ini lebih ringan di sisi Allah dibandingkan dengan pembunuhan seorang Muslim (HR an-Nasa’i).
Dalam riwayat lain, kata Ibnu Abbas ra., saat memandang Ka’bah, Nabi saw pun bersabda, “Selamat datang, wahai Ka’bah. Betapa agungnya engkau dan betapa agung kehormatanmu. Akan tetapi, serang Mukmin lebih agung di sisi Allah daripada engkau.” (HR al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).
Karena itulah, sepanjang sejarah penerapan syariah Islam, tak ada darah seorang Muslim pun ditumpahkan, melainkan akan diberikan pembelaan yang besar dari umat dan Daulah Islam. Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menceritakan, ketika ada seorang pedagang Muslim yang dibunuh beramai-ramai oleh kaum Yahudi Bani Qainuqa, karena membela kehormatan seorang Muslimah yang disingkap pakaiannya oleh pedagang Yahudi, Rasulullah saw. segera mengirim para Sahabat untuk memerangi mereka dan mengusir mereka dari Madinah setelah mengepung perkampungan mereka selama 15 malam (Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, 3/9-11).
Rasulullah saw., selaku penguasa kaum Muslim, semasa menjadi kepala Negara Islam Madinah, telah melindungi setiap tetes darah kaum Muslim. Demikian pula Khulafaur-Rasyidun dan para khalifah setelah mereka. Mereka terus melindungi umat dari setiap ancaman dan gangguan. Dengan begitu umat dapat hidup tenang dimana pun mereka berada karena ada yang menjadi pelindung bagi mereka.
Racun ‘Ashabiyah
Sayang, meski telah dengan gamblang dipahami bahwa kaum Muslim itu bersaudara di mana pun, juga bahwa betapa mahalnya harga nyawa seorang Muslim, faktanya hal sederhana ini seolah tidak dimengerti oleh para penguasa Arab dan Muslim saat ini. Jika tidak demikian, lalu mengapa para penguasa Arab dan Muslim tidak sejak awal segera bertindak untuk membela kaum Muslim Palestina yang tertindas selama puluhan tahun lamanya? Mengapa mereka tidak pernah tergerak untuk mengirimkan pasukan demi membela saudara-saudara Muslim di Palestina yang bahkan saat ini sedang mengalami genosida oleh Yahudi Zionis?
Ada dua alasan utama mengapa hal ini terjadi:
Pertama, karena dominasi ‘ashabiyah dalam wujud nasionalisme dan konsep nation state yang telah merusak ukhuwah islamiyah. Setiap negara Muslim hanya memikirkan kepentingan nasional atau kemaslahatan bangsanya sendiri. Tragedi kemanusiaan di Palestina saat ini, juga di negeri-negeri Muslim lainnya, sejauh ini tidak dianggap sebagai masalah bersama yang harus segera ditangani.
Kedua, kebanyakan penguasa Muslim dan Arab telah menjadi boneka Barat, khususnya Amerika dan Rusia. Mereka lebih memilih diam atau malah mendukung kebijakan tuan-tuan mereka yang jelas-jelas memusuhi kaum Muslim. Ini terbukti dengan tidak adanya tindakan nyata ketika Muslim Palestina dibantai bahkan mengalami genosida hingga saat ini .
Pada Tahun 2015, Saudi Arabia memang membentuk aliansi militer dari 34 negara Muslim yang berbasis di Riyadh (Islamic Military Counter Terrorism Coalition). Namun demikian, aliansi ini tidak berfungsi untuk melindungi umat Islam yang tertindas. Fokus utama aliansi ini adalah memerangi “terorisme” berdasarkan definisi yang dikehendaki Barat, yakni kaum Muslim yang dituding radikal dan anti Barat, bukan terorisme yang sesungguhnya seperti kekejaman Zionis Yahudi. Aliansi ini hanyalah cerminan kepatuhan para penguasa Muslim kepada kepentingan Barat.m, terutama AS.
Merindukan Kembali Sosok Khalifah Al-Mu’tashim Billah
Dengan semua tragedi yang menimpa umat Islam, selayaknya kita memahami kembali sabda Rasulullah saw. berikut:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Imam (Khalifah) adalah perisai; kaum Muslim diperangi (oleh musuh) di belakangnya dan dilindungi oleh dirinya.” (HR Muslim).
Sabda Rasulullah saw. menunjukkan pentingnya keberadaan penguasa yang menjadi pelindung umat. Inilah yang dipahami oleh para khalifah pada masa lalu. Salah satunya adalah Khalifah al-Mu’tashim Billah dari Kekhilafah Abasiyyah. Ia benar-benar mengamalkan Hadis Rasulullah saw. tersebut. Ia benar-benar menjadi “junnah” (perisai) bagi rakyatnya.
Khalifah Al-Mu’tashim Billah–yang menjadi Khalifah dari tahun 833 M sampai tahun 842 M–bahkan berhasil menaklukkan Kota Amuriyah di Anatolia (masuk bagian wilayah Turki saat ini). Amuriyah adalah sebuah kota penting bagi Kekaisaran Romawi saat itu.
Menurut Ibn Khalikan dan Ibn al-Atsir, kisahnya bermula saat terjadi penawanan dan penistaan oleh seorang kafir Romawi terhadap seorang wanita Muslimah nan mulia keturunan Fathimah ra. Kabar itu sampai ke telinga Khalifah al-Mu’tashim Billah.
Mendengar kabar tersebut, tanpa menunda-nunda, Khalifah segera bergerak. Ia segera mengerahkan bahkan memimpin sendiri puluhan ribu pasukan menuju Kota Amuriyah. Saking banyaknya jumlah pasukan yang dikerahkan, saat kepala barisan pasukan tersebut sudah mencapai Kota Amuriyah, ekornya masih ada di Ibukota Khilafah, yakni Baghdad. Jumlah pasukan sebanyak itu dikerahkan hanya untuk membela kehormatan wanita Muslimah mulia yang telah dinodai oleh seorang kafir Romawi tersebut.
Singkat cerita. Kota tersebut berhasil ditaklukkan. Tidak kurang dari 30 ribuan tentara Romawi tewas. Sebanyak 30 ribuan lainnya berhasil ditawan. Wanita Muslimah itu akhirnya bisa dibebaskan. Lalu Khalifah berkata kepada wanita mulia tersebut, “Jadilah saksi di hadapan kakekmu (Nabi Muhammad saw.) bahwa aku telah datang untuk membebaskan dirimu.” (Lihat: Ibn Khalikan, Wafayaat al-A’yaan, 2/149); Ibn al-Atsir, Al-Kaamil fii at-Taariikh, 6/36).
Kisah heroik ini sangat kontras dengan situasi para penguasa Arab dan Muslim saat ini. Tak satu pun dari mereka yang berani menggerakkan pasukannya untuk melindungi umat Islam. Khususnya kaum Muslim Palestina saat ini. Mereka memilih diam atau bersikap pengecut. Tak mau menjadi “lelaki sejati” meski cuma sehari saja.
Karena itu jelas, umat Islam saat ini merindukan sosok pemimpin seperti Khalifah al-Mu’tashim Billah. Sebagai penguasa ia bertanggung jawab dalam melindungi rakyatnya. Bahkan, meskipun hanya seorang Muslimah yang menjadi korban kejahatan orang kafir, ia tak pernah memandang kejadian tersebut sebagai perkara yang remeh. Sangat jauh berbeda dengan para penguasa Muslim saat ini. Meski sudah puluhan ribu–bahkan ratusan ribu–kaum Muslim menjadi korban kebiadaban Yahudi Zionis, mereka lebih memilih berdiam diri. Ironis! Padahal mereka hakikatnya dipilih dan diangkat sebagai penguasa oleh rakyat mereka yang mayoritas penduduknya Muslim.
Alhasil, sekali lagi, jelas, umat Islam saat ini merindukan sosok pemimpin sejati pelindung umat, seperti Khalifah al-Mu’tashim Billah. Pemimpin semacam Khalifah al-Mu’tashim Billah ini tentu hanya akan lahir kembali dalam sistem pemerintahan Khilafah Islam, sebagaimana pada masa lalu. Mustahil lahir dalam sistem pemerintahan sekuler saat ini yang telah lama terbelenggu oleh racun nasionalisme sempit dan negara-bangsa (nation-state) yang memang secara sengaja dibuat dan direkayasa oleh negara-negara imperialis Barat.(*) Tentu agar kaum Muslim sedunia tetap terpecah-belah, sulit bersatu; tetap lemah dan sulit untuk bangkit kembali. Akibatnya, sekadar untuk melawan entitas Yahudi yang sesungguhnya lemah saja tidak berdaya sampai saat ini.
Jelas, keadaan ini harus segera diakhiri! Tak bisa terus dibiarkan!
Bagaimana caranya? Tidak lain, kaum Muslim sedunia harus berjuang bersama-sama untuk menegakkan kembali institusi pemerintahan Islam global, yakni Khilafah ‘alaa Minhaaj an-Nubuwwah. Inilah yang juga sejak lebih dari 14 abad lalu telah dikabarkan oleh Baginda Rasulullah saw.:
…ثم تكون خلافة على منهاج النبوة…
…Kemudian akan muncul kembali Khilafah yang tegak di atas metode Kenabian… (HR Ahmad).
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. []
Catatan Kritikal:
Konsep negara-bangsa (nation-state) di Dunia Islam, sebagaimana kita kenal sekarang, tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir sebagai akibat dari kolonialisme Barat di Dunia Islam.
Gagasan negara-bangsa di Dunia Islam mulai terbentuk secara signifikan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dengan akar-akarnya dapat ditelusuri sebagai berikut:
1. Pengaruh Kolonialisme Barat
Konsep negara-bangsa modern khas Barat dibawa ke Dunia Islam melalui kolonialisme Eropa. Pada abad ke-19, kekuatan kolonial seperti Inggris, Prancis dan Belanda mendominasi wilayah-wilayah Islam seperti India, Mesir, Aljazair dan Indonesia. Mereka memperkenalkan sistem administrasi modern yang memecah-belah kesatuan wilayah Kekhilafahan Utsmaniyah dan komunitas Muslim lainnya menjadi entitas politik yang lebih kecil dengan batas-batas buatan (rekayasa). Dasarnya antara lain:
a. Perjanjian Sykes-Picot (1916):
Salah satu momen kunci adalah perjanjian rahasia antara Inggris dan Prancis selama Perang Dunia I, yang membagi wilayah Kekhilafahan Utsmaniyah di Timur Tengah menjadi zona pengaruh mereka. Perjanjian ini menjadi cikal-bakal pembentukan negara-negara seperti Suriah, Lebanon, Irak, dan Yordania, yang mengadopsi model negara-bangsa dengan batas-batas yang ditentukan oleh kekuatan kolonial, bukan berdasarkan kesatuan umat Islam.
b. Perjanjian Lausanne (1923):
Setelah kekalahan Kekhilafahan Utsmaniyah dan pendirian Republik Turki sekuler, perjanjian ini menetapkan batas-batas Turki modern dan memperkuat konsep negara-bangsa di bekas wilayah Kekhilafahan.
2. Peran Mustafa Kemal Atatürk
Jika harus menyebut tokoh yang secara eksplisit mendorong konsep negara-bangsa di Dunia Islam, Mustafa Kemal Atatürk sering disebut sebagai pelopor utama. Setelah Perang Dunia I dan keruntuhan Kekhilafahan Utsmaniyah, Atatürk mendirikan Republik Turki pada tahun 1923 sebagai negara sekuler berbasis nasionalisme Turki. Pada tahun 1924, ia secara resmi menghapus institusi Khilafah, yang selama berabad-abad menjadi simbol kesatuan umat Islam di bawah satu kepemimpinan.
Atatürk mempromosikan nasionalisme Turki sebagai identitas utama, menggantikan identitas keislaman yang sebelumnya menyatukan berbagai etnis di bawah Kekhilafahan Utsmaniyah. Langkah ini menjadi model bagi gerakan nasionalis lain di Dunia Islam. Reformasi Atatürk, seperti sekularisasi hukum dan pendidikan, memisahkan agama dari negara, yang kemudian memengaruhi pemikiran nasionalis di negara-negara Muslim lainnya.
Sejak Dunia Islam dipecah-belah dan masing-masing diikat dengan belenggu nasionalisme sempit dan negara-bangsa (nation-state) yang direkayasa oleh negara-negara kolonialis Baratlah, kaum Muslim sedunia menjadi lemah dan tak berdaya hingga saat ini. Padahal jumlah mereka saat ini telah mencapai sekitar 2 miliar. Namun demikian, jumlah sebesar itu seperti “buih”! Banyak, tetapi seolah tak berguna. Pasalnya, institusi pemersatu mereka, sekaligus yang menghimpun kekuatan mereka, yakni Khilafah Islam, sudah lama dihancurkan oleh kekuatan kolonial Barat, khususnya Inggris saat itu, melalui antek mereka, yakni Mustafa Kemal Attaturk, pada tahun 1924. []
=======================================
Yuk Gabung Channel
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar
Website Resmi: https://ariefbiskandar.com/
E-Book Premium : http://lynk.id/uabi/kAEDDpR
Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.