Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
Allah SWT berfirman:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوۡنَ الۡقُرۡاٰنَؕ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِنۡدِ غَيۡرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوۡا فِيۡهِ اخۡتِلَافًا كَثِيۡرًا
Tidakkah kalian memperhatikan al-Quran? Seandainya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentu mereka bakal menjumpai banyak pertentangan di dalamnya (QS an-Nisa’ [4]: 82).
Allah SWT juga berfirman:
وَاِنۡ کُنۡتُمۡ فِىۡ رَيۡبٍ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلٰى عَبۡدِنَا فَاۡتُوۡا بِسُوۡرَةٍ مِّنۡ مِّثۡلِهٖ وَادۡعُوۡا شُهَدَآءَكُمۡ مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ اِنۡ كُنۡتُمۡ صٰدِقِيۡنَ
Jika kalian tetap dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah saja yang serupa dengan al-Quran itu, dan ajaklah para penolong kalian selain Allah jika kalian memang orang-orang yang benar (QS al-Baqarah [2]: 23).
Berkaitan dengan nash-nash di atas, ada dua kisah yang cukup menarik dan populer. Pertama: seperti diceritakan oleh Ibn Abbas, suatu saat Walid bin Mughirah datang kepada Rasulullah saw. Rasul lalu membacakan ayat-ayat al-Quran di hadapannya. Tiba-tiba, perasaan-perasaan aneh bercampur takjub menyelubungi Walid hingga ke lubuk hatinya yang paling dalam. Sebagai seorang pemuka Arab yang memiliki citarasa tinggi akan bahasa dan sastra, Walid—meski dia kafir—tidak mampu sedikit pun menyembunyikan kekaguman dan rasa hormatnya terhadap keagungan dan ketinggian al-Quran, yang baru saja meluncur dari bibir Rasul yang mulia.
Mendengar Walid telah menemui Rasul, Abu Jahal memprotesnya. Namun, Walid malah berkata, “Demi Allah! Di antara kalian tidak ada yang lebih paham dariku dalam hal syair, rajaz, dan qasidah-nya; serta syair-syair jin. Apa yang diucapkan oleh Muhammad itu (ayat-ayat al-Quran) sama sekali tidak serupa dengan syair-syair itu. Demi Allah! Kalimat demi kalimat yang dituturkannya sungguh manis; bagian atasnya berbuah, sementara bagian bawahnya mengalirkan air segar. Untaian katanya sungguh tinggi, tidak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa saja yang ada di bawahnya (Qattan, 1992: 379-380).
Kedua: sebagaimana yang dituturkan Ibn Katsir dalam tafsirnya, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Amr bin al-‘Ash—sebelum masuk Islam—pernah diutus untuk menemui Musailamah al- Kadzdzab. Saat berjumpa, Musailamah bertanya kepada Amr, “Wahyu apa yang sekarang turun kepada sahabatmu (Muhammad) di Makkah?”
Amr menjawab, “Sungguh, baru saja turun kepada Muhammad satu surah yang sangat ringkas tetapi padat isinya.”
“Surah apa itu?”
Amr lalu membaca surah al-‘Ashr, “Wa al-‘ashr. Inna al-insâna lafî khusr…(Demi waktu. Sungguh, manusia merugi selalu…).”
Mendengar itu, Musailamah berpikir sejenak. Tak lama, ia kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata, “Sungguh, aku pun baru saja menerima wahyu.”
“Wahyu apa?” tanya Amr.
Musailamah lalu membaca sebuah kalimat, “Yâ wabr, yâ wabr; innamâ anta udzunâni wa shadr; wa sâ’iruka hafr[un] naqr (Hai kelinci, hai kelinci; kamu ini hanyalah binatang yang memiliki dua telinga panjang dan dada yang menonjol; dan di tanah sekelilingmu ada lubang galian kecil).”
Setelah itu, Musailamah bertanya, “Bagaimana pendapatmu, wahai Amr?”
Amr bin Yasr menjawab, “Demi Allah! Engkau pasti tahu, bahwa aku tahu, engkau ini sedang berdusta!” (Ibn Katsir, 1980: IV/586).
Sebetulnya, bagi siapapun, apalagi seorang Mukmin, sangatlah mudah untuk membuktikan bahwa al-Quran itu benar-benar kalamullah dan bahwa betapa agungnya al-Quran itu. Namun, di kalangan orang-orang yang memiliki penyakit dalam hatinya, baik dari kalangan Muslim, apalagi non- Muslim, selalu saja ada orang yang berusaha untuk menanamkan keraguan pada kaum Muslim akan otentisitas al-Quran sebagai wahyu Allah.
Banyak pakar Barat-Kristen—yang kemudian diikuti tanpa sikap kritis oleh kelompok Liberal—yang menggugat al-Quran; dari sekadar mengkritik hukum-hukum yang dikandungnya yang dianggap tidak relevan lagi dengan zaman hingga menuduh al-Quran sebagai karangan Muhammad belaka. Mereka lupa, andai al-Quran bukan wahyu Allah, alias karangan manusia, lalu mampukah mereka—atau siapapun manusia di dunia ini—yang bisa membuat sesuatu serupa dengan al-Quran? Tidak ada!
Mereka hanya bisa mengkritik dan menggugat!
Dua kisah di atas sebetulnya sudah cukup bagi siapapun untuk meyakini bahwa al-Quran benar- benar wahyu Allah, yang tidak mungkin ditandingi oleh karya penyair hebat manapun.
Lebih dari sekadar “karya sastra” yang demikian agung, al-Quran juga telah terbukti menjadi sumber inspirasi bagi kemajuan umat manusia, terutama dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan mereka. Simaklah pengakuan jujur seorang cendekiawan Barat, Denisen Ross, “Harus diingat, bahwa al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Bibel dalam agama Kristen… Demikianlah, setelah melintasi masa selama 13 abad, al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi seluruh Turki, Iran, dan hampir seperempat penduduk India. Sungguh, sebuah kitab seperti ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama pada masa kini…” (E. Denisen Ross, dalam buku, Kekaguman Dunia Terhadap Islam).
Simak pula komentar W.E. Hocking tentang al-Quran, “Saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya dapat dikatakan, bahwa hingga pertengahan abad ketiga belas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang dapat dibanggakan oleh dunia Barat.” (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).
Prof. G. Margoliouth juga menulis, “Penyelidikan telah menunjukkan bahwa yang diketahui oleh sarjana-sarjana Eropa tentang falsafah, astronomi, ilmu pasti, dan ilmu pengetahuan semacam itu, selama beberapa abad sebelum Renaissance, secara garis besar datang dari buku-buku Latin yang berasal dari bahasa Arab, dan al-Quranlah yang—walaupun tidak secara langsung—memberikan dorongan pertama untuk studi-studi itu di antara orang-orang Arab dan kawan-kawan mereka.” (Prof. G.
Margoliouth, dalam De Karacht van den).
Walhasil, benarlah sabda Rasul yang mulia:
أَحْسَنُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ
Sebaik-baik ucapan adalah kalamullah (HR an-Nasa’i).
‘Alâ kulli hâl, yang dibutuhkan kaum Muslim saat ini jelas bukanlah mengkritik dan menggugat al-Quran, tetapi justru bagaimana “membumikan” al-Quran—sebagai sumber hukum dalam realitas kehidupan.
Wamâ tawfîqi illâ billâh. []
=======================================
Yuk Gabung Channel
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar
Website Resmi: https://ariefbiskandar.com/
Yuk Download Ebook Gratis : https://lynk.id/uabi
Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.