Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

Wakaf identik dengan sedekah jariyah. Rasul saw. bersabda, “Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak salih yang mendoakan orangtuanya.” (HR Muslim dan Abu Dawud).

Berdasarkan hadis ini, sedekah jariyah identik dengan wakaf (Abu Thayyib, ‘Awn al-Ma’bUUd, 8/62).

Dengan demikian wakaf atau amal jariyah adalah amal yang sangat istimewa. Pasalnya, pahala wakaf akan terus mengalir kepada pelakunya meski ia telah wafat. Karena itu Nabi saw., juga para Sahabat beliau, adalah generasi yang gemar berwakaf.
Menurut Jabir ra., tidak seorang pun dari Sahabat Nabi saw. yang memiliki kemampuan kecuali mewakafkan hartanya (Ibn Muflih, Al-Mubdi’, 6/312).

Salah satu Sahabat yang pernah berwakaf adalah Abu ad Dahdah. Ia pernah mewakafkan kebun miliknya kepada Rasulullah saw. Kebun tersebut ditumbuhi oleh 900 pohon kurma (HR Abu Ya’la dan ath-Thabrani).

Menurut Imam Syafii, wakaf dari para Sahabat Nabi saw. itu hampir tak terhitung jumlahnya. Harta wakaf mereka masih ada hingga sekarang (Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, 10/233).

Tradisi berwakaf ini terus dipelihara oleh setiap generasi Muslim pasca Sahabat (TAabi’iin), pasca Taabi’iin (Taabi’ at-Taabi’iin) dan era setelah mereka sepanjang sejarah Khilafah Islam. Salah satu wakaf terbesar dan terkenal adalah pusat pendidikan Islam sekaligus Universitas Al-Azhar di Mesir. Universitas ini eksis hingga sekarang dan telah melahirkan ratusan ribu ulama terkemuka di seluruh dunia.

Karena itu seorang Mukmin yang cerdas tak mungkin mengabaikan amal shalih berupa wakaf ini. Sebabnya, ia sangat paham, sekadar mengandalkan amal shalihnya seperti shalat-shalat sunnah, misalnya, pahalanya akan berakhir saat ia wafat dan shalat itu tak bisa lagi ia tunaikan. Berbeda dengan wakaf. Pahalanya akan terus mengalir meski pelakunya telah wafat ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya.

Sebagai amal utama, wakaf bisa diniatkan atas nama pribadi atau orang lain (misal: ayah/ibu) yang sudah wafat. Dalam hal ini Ibn ‘Abbas bertutur: Saad ibn ‘Ubadah pernah berkata kepada Nabi saw, “Ibuku telah wafat, sementara aku tidak ada di sisinya. Apakah bermanfaat bagi beliau jika aku bersedekah atas namanya?” Nabi saw. menjawab, ”Iya, tentu saja.” Saad berkata lagi, ”Kalau begitu, persaksikanlah bahwa kebunku Al-Mihraaf ini disedekahkan (diwakafkan) atas nama ibuku.” (HR al-Bukhari).

Selain boleh atas nama pribadi/perseorangan, wakaf juga bisa diatasnamakan secara kolektif. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Bani Najar pernah mewakafkan kebun mereka untuk Masjid Nabawi pada masa Nabi saw.

Alhasil, mari kita menggemarkan dan mentradisikan berwakaf!

Wa maa tawfiiqii ilLaa bilLaah.

=======================================

Yuk Gabung Channel ⤵
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar

➡ Website Resmi:https://ariefbiskandar.com/

Yuk Beramal Jariyah ⤵:
berbagi.link/amaljariyah

Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.