Oleh : Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

Sahl bin Ibrahim bertutur sebagai berikut:

Aku berteman akrab dengan Ibrahim bin Adham. Pernah suatu saat aku jatuh sakit. Dialah yang membiayai semua pengobatannya. Ia pun memenuhi semua keperluanku. Aku bertanya, “Ibrahim, di manakah keledaimu?” Ibrahim bin Adham menjawab enteng, “Telah kujual untuk biaya pengobatanmu dan memenuhi keperluanmu.” Aku bertanya lagi, “Lalu kita naik apa?” Ibrahim bin Adham berkata, “Saudaraku, naiklah ke atas punggungku.” Kemudian ia membawaku ketiga tempat (Al-Qusairi, Risaalah al-Qusyairiyyah, 1/7).

Memang banyak orang yang dermawan, gemar menolong dan ringan tangan membantu orang yang kesulitan. Namun, tetap langka orang yang melakukan semua itu dengan mengorbankan dirinya, sebagaimana Ibrahim bin Adham di atas.

Itulah pula yang dulu biasa dilakukan oleh kaum Anshar di Madinah kepada kaum Muhajirin. Al-Quran mengisahkan: Mereka (kaum Anshar) lebih mengutamakan (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri meski mereka sendiri sangat membutuhkan (TQS al-Hasyr [59]: 9).

Terkait ayat di atas, Imam Muslim, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i meriwayatkan: Suatu saat datang seseorang kepada Rasulullah saw. Beliau lalu membawa orang itu kepada istri- istri beliau. Namun, tak satu pun berkenan, karena memang tak ada makanan sedikit pun untuk menjamu tamu tersebut. Lalu Rasulullah saw. menawarkan tamu tersebut kepada para Sahabat seraya berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menjamu tamu ini, malam ini?” Seseorang lalu berdiri. Ia adalah Thalhah ra. Ia berkata, “Saya, wahai Rasulullah saw.” Thalhah lalu membawa tamu tersebut kepada istrinya seraya berkata, “Muliakan tamu Rasulullah saw. ini.” Istrinya berkata, “Demi Allah, kita tidak punya apa-apa, kecuali sedikit makanan untuk anak-anak kita.” Thalhah ra. berkata, “Tidurkanlah mereka. Padamkanlah lampunya. Malam ini kita jamu tamu Rasulullah saw. ini.” Esoknya, Rasulullah saw. mengabari, “Sungguh Allah SWT takjub dengan sikap Fulan dan Fulanah tadi malam.” Lalu turunlah ayat tersebut (Al-Alusi, Ruuh al-Ma’aani, 20/426).

Begitulah sikap salafush-shaalih dalam mengutamakan orang lain. Semoga kita bisa meneladani mereka. Amin.

Wa maa tawfiiqii ilLaa bilLaah.