Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).

SUATU saat Imam Jafar ash-Shadiq rahimahulLah sedang bersama budaknya yang sedang menuangkan air. Tanpa sengaja, air menciprati pakaian Imam Jafar. Beliau lalu memandang budaknya dengan pandangan kurang suka. Namun, sang budak buru-buru menyitir potongan QS Ali Imran ayat 134 (tentang ciri-ciri orang yang bertakwa), “Wa al-kâzhîmîn al-ghayzh (Orang-orang yang menahan amarah).” 

Imam Jafar berkata, “Kalau begitu, aku telah menahan amarahku kepada kamu.” 

Sang budak melanjutkan, “Wa al-âfîna an an-nâs” (Orang-orang yang memaafkan manusia).” 

Imam Jafar berkata, “Aku pun telah memaafkan kamu.” Sang budak melanjutkan lagi, “Wa AlLâhu yuhibb al-muhsinîn (Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).” 

Imam Jafar kembali berkata, “Kalau begitu, pergilah engkau. Engkau sekarang menjadi orang merdeka karena Allah. Untuk kamu, ambillah dari hartaku ini sebesar seribu dinar.” (Ibnu al-Jauzi, Bahr ad-Dumû, hlm. 175).

Masya Allah! Begitulah keagungan Imam Jafar ash-Shadiq. Ulama besar yang lahir di Kota Madinah pada tahun 80 H ini langsung mengamalkan seluruh isi kandungan ayat tersebut tanpa ditunda-tunda meski itu disampaikan hanya oleh budaknya. Yang lebih menakjubkan, hanya untuk menebus kesalahannya—memandang budaknya dengan perasaan tidak suka dan sedikit marah—ia rela memerdekakan budaknya itu plus memberi dia sedekah 1000 Dinar (lebih dari Rp 2,5 miliar)!

Imam Jafar memang dikenal sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya. Beliau seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal Abidin, yaitu sering bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia sering memanggul gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya. Semuanya beliau bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan dari kalangan orang-orang fakir di Madinah tanpa diketahui jati dirinya.

Wajar jika Imam Jafar ash-Shadiq amat dermawan karena beliau pernah berkata, “Sungguh, saya akan segera memenuhi kebutuhan (permintaan tolong) saudara-saudaraku (kaum Muslim). Sebabnya, aku takut mereka tak lagi membutuhkan bantuanku jika aku menolak permintaan tolong mereka.” (Ibn Muhammad al-Ghazi al-Amiri ad-Dimasyqi, Adâb al-Usyrah wa Dzikr ash-Shuhbah wa al-Ikhwah, 1/57).

Bagaimana dengan kita? Sanggupkah kita menebus dosa-dosa kita dengan banyak bersedekah? Sanggupkah kita menjadi orang dermawan dengan selalu siap menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan kita sebelum mereka merasa malu dan enggan meminta pertolongan kita?

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []