Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
ADANYA kesalahan dalam memahami makna jihad ditengah-tengah umat tentu tak datang dengan sendirinya. Salah satu penyebabnya adalah merosotnya taraf berfikir umat.
Di sisi lain, negara-negara imperialis sangat menyadari bahwa jihad yang dilakukan oleh kaum Muslim di seluruh dunia jelas akan membahayakan status quo mereka sebagai negara yang mendominasi dan merampok kekayaan alam dunia saat ini. Berbagai upaya dan cara mereka lakukan untuk menyimpangkan makna jihad, juga terus mendiskreditkan jihad.
Mereka kemudian melakukan pemilintiran makna jihad antara lain dengan mengatakan jihad dalam Islam bersifat defensif (bertahan), bukan ofensif. Mereka juga memanfaatkan ulama-ulama yang dikesankan bijak dan alim dengan mengatakan: yang terpenting adalah jihad melawan hawa nafsu; jihad ini adalah jihad akbar dibandingkan dengan jihad dalam pengertian perang.
Ada juga upaya untuk memperluas makna jihad dengan mengambil makna bahasanya. Muncul pula istilah-istilah yang sebelumnya tidak dikenal pada zaman Rosulullah dan salaf ash-shâlih, seperti jihad pembangunan, jihad politik, jihad ekonomi, jihad pendidikan, dan lain-lain. Semua itu bermuara pada direduksinya makna jihad dalam pengertian yang sesungguhnya, yakni perang.
Tidak berhenti di sana, jihad pun diputarbalikkan dengan makna-makna yang jelek. Jihad kemudian diidentikkan dengan terorisme, fundamentalisme, barbarisme, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Tindakan pejuang Palestina, Irak, Chechnya, Moro, Pattani, yang dijajah terutama oleh negara-negara imperilias disebut dengan tindakan teroris dan militan barbar. Sebaliknya, apa yang dilakukan AS dan negara-negara imperialis lainnya dicitrakan sebagai tindakan yang baik. AS dan Inggris menyerang Irak, Afganistan disebut sebagai tindakan pembebasan, penegakan demokrasi, dan HAM.
Adapula yang mengatakan, sebenarnya tidak ada bedanya antara imperilisme Barat dan jihad (futûhât) dalam Islam. Kedua-duanya menggunakan kekerasaan, menumpahkan darah, merampok, serta merampas dan mengeksploitasi negara yang dijajahnya. Dalam persfektif ini, kemudian mereka menuduh agama sebagai sumber konflik dan kekacaauan di dunia. Mereka kemudian menyerukan ide-ide humanis, seperti perdamaian.
1. Jihad: Makna bahasa.
Secara bahasa, jihad berasal dari kata juhd (jerih payah), yang bermakna thâqah (kemampuan) dan matsaqah (kesukaran). Dari kata juhd juga dibentuk kata mujâhadah. Karena itu, secara bahasa jihâd/mujâhadah bermakna:
- Mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhîth, kata ja-ha-da.).
- Mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh tujuan (An-Naysaburi, Tafsîr an-Naysâbûrî, XI/126).
Di dalam al-Quran jihad dalam makna bahasa ini terdapat, antara lain, dalam ayat-ayat berikut:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS al-Ankabut [29]: 69).
فَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran, dengan jihad yang besar. (QS al-Furqan [25]: 52).
Rasulullah saw. juga bersabda:
أَفْضَلُ اْلجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah ucapan yang haq di hadapan penguasa yang zalim. (HR at-Tirmidzi).
الْحَجُّ جِهَادُ كُلِّ ضَعِيفٍ
Ibadah haji merupakan jihad bagi mereka yang lemah. (HR Ibn Majah dan Ahmad).
Aisyah ra. pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi para wanita?” Beliau bersabda:
نَعَمْ, عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ لاَ قِتَالَ فِيهِ الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
Ya, yaitu jihad yang tidak ada perang di dalamnya, yakni ibadah haji dan umrah. (HR Ibn Majah).
Rasul saw. juga pernah bersabda:
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ
Yang bernama mujahid adalah mereka yang memerangi dirinya. (HR at-Tirmidzi).
Nash-nash di atas dan yang semisal, di dalamnya terdapat kata jihad dalam pengertian bahasa (lughawi). Makna bahasa yang terdapat di dalamnya adalah mujâhadah (perang) terhadap hawa nafsu, setan, dan kefasikan; keberanian menegur keras para penguasa dengan cara menyerunya dan melarangnya; serta kesungguhan dalam mengerahkan segenap kemampuan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban atau dalam menjaga taklif-taklif (beban) syariah.
2. Jihad: Makna syar‘i.
Adapun dalam pengertian syar‘î (syariat), para ulama dan ahli fikih (fuqaha) mendefinisikan jihad sebagai:
1. Upaya mengerahkan segenap kemampuan dalam berperang di jalan Allah secara langsung, atau membantunya dengan harta, dengan (memberikan) pendapat/pandangan, dengan banyaknya orang maupun harta benda, ataupun yang semisalnya.
2. Upaya mengerahkan segenap jerih payah dalam memerangi kaum kafir.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara syar‘i, jihad dimaknai dengan al-qitâl (perang), yakni perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Bahkan itulah yang disebut dengan jihad yang sebenarnya. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/153).
Jihad (Perang) dalam Nash yang Shârih (Tegas) dan Ghayr Sharih (Samar)
1. Jihad dalam nash shârih (tegas).
Di dalam nash al-Quran maupun as-Sunnah jihad sering ditunjukkan secara tegas (shârih), dengan langsung menggunakan kata al-qitâl (perang). Allah SWT, antara lain, berfirman:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ
Perangilah orang-orang yang tidak mengimani Allah dan Hari Akhir. (QS at-Taubah [9]: 29).
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ ِللهِ
Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah (kekufuran) dan agar agama itu semata-mata hanya milik Allah. (QS al-Anfal [8]: 39).
Rasul saw. juga pernah bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ
Siapa saja yang berperang dengan tujuan menjadikan kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, maka ia berada di jalan Allah. (HR al-Bukhari).
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Lâ Ilâha illa Allâh Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). (HR al-Bukhari dan Muslim).
2. Jihad (perang) dalam nash ghayr shârih (samar).
Jihad dalam makna al-qitâl (perang) ini juga sering ditunjukkan dalam makna yang samar (ghayr shârih), yang lebih banyak ditunjukkan oleh adanya indikasi (qarînah) yang menunjukkan pada makna al-qitâl (perang) yang sesungguhnya atau yang dimaksud.
Allah SWT, antara lain, berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ
Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. (QS al-Baqarah [2]: 218).
…إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah…. (QS al-Anfal [8]: 72).
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (QS at-Taubah [9]: 73).
Meskipun ada nash-nash di atas dan yang serupa dengannya dalam bentuk yang samar, semua nash tersebut memiliki qarînah (indikasi) yang menunjukkan pada makna jihad secara syar‘i, yakni al-qitâl (perang).
Frasa dalam ayat-ayat di atas seperti fî sabîlillâh (di jalan Allah), jâhadû wa hâjarû (berjihad dan berhijrah), waghluzh ‘alayhim (bersikap keraslah terhadap mereka [orang-orang kafir]), bi amwâlihim wa anfusihim (dengan harta-harta dan jiwa-jiwa mereka), semua itu merupakan indikasi (qarînah) yang menunjukkan bahwa kata jihad di dalam ayat-ayat tersebut adalah jihad secara syar‘i, yakni memerangi kaum kafir.
Demikian pula halnya dengan sabda-sabda Rasulullah saw. Rasul saw., misalnya, bersabda:
وَاْلجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِىَ اللهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَتِى الدَّجَّالَ
Jihad itu tetap berlangsung sejak aku diutus oleh Allah hingga umatku yang terakhir membunuh dajjal. (HR Ibn Manshur al-Khurasani, Kitâb as-Sunan, II/176).
الْجِهَادُ مَاضٍ مَعَ الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ
Jihad itu tetap berlangsung baik bersama (pemimpin) yang salih maupun yang fajir. (HR al-Bukhari).
Dalam hadis di atas, frasa hingga umatku yang terakhir membunuh dajjal, misalnya, merupakan qarînah bahwa yang dimaksud dengan jihad di sini adalah makna syar‘i, yakni memerangi orang-orang kafir. Begitu juga frasa baik bersama (pemimpin) yang salih maupun yang fajir; merupakan qarînah bahwa jihad dalam hadis di atas bermakna perang, seperti pada nash sebelumnya.
Di dalam al-Quran, jihad dalam pengertian perang ini terdiri dari 24 kata. (Lihat Muhammad Husain Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl. I/12).
Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4). Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di akhirat. (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ [4]: 95; QS an-Nisa’ [4]: 95; QS at-Taubah [9]: 111; QS al-Anfal [8]: 74; QS al-Maidah [5]: 35; QS al-Hujurat [49]: 15; QS as-Shaff [61]: 11-12.
Sebaliknya, Allah telah mencela dan mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah (Lihat, misalnya: QS at-Taubah [9]: 38-39; QS al-Anfal [8]: 15-16; QS at-Taubah [9]: 24).
Jihad Defensif dan Jihad Ofensif
Dengan menganalisis nash-nash al-Quran maupun as-Sunnah, jihad dalam pengertian perang (al-qitâl) terdiri dari dua macam: (1) Jihad defensif (difâ‘i); (2) Jihad ofensif (hujûmi).
Pertama: jihad defensif, yakni perang untuk mempertahankan/membela diri. Jihad ini dilakukan manakala kaum Muslim atau negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah dalam kasus Afganistan dan Irak yang diserang dan diduduki AS sampai sekarang, juga dalam kasus Palestina yang dijajah Israel. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan mengusirnya dari tanah kaum Muslim. (Lihat, antara lain: QS al-Baqarah 190).
Jihad defensif ini juga dilakukan manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong mereka. Sebab, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu, serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum Muslim di Afganistan, Irak, atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia. (Lihat, antara lain: QS al-Anfal [8]: 72).
Kedua: Jihad ofensif, yakni memulai perang. Jihad ini dilakukan manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam (Khilafah) dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan pemikiran, non-fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan halangan-halangan fisik yang ada di hadapannya. Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad (berperang) dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi tersebarluaskannya dakwah Islam dan demi tegaknya kalimat-kalimat Allah.
Dengan jihad ofensif itulah Islam tersebar ke seluruh dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Bahkan jihad (perang) merupakan metode Islam dalam penyebaran dakwah Islam oleh negara (Daulah Islam). Allah SWT berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ ِللهِ
Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah (kekufuran) dan agar agama itu semata-mata hanya milik Allah. (QS al-Anfal [8]: 39).
Rasulullah saw. juga bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, keliru jika ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa jihad di dalam Islam adalah perang defensif (untuk mempertahankan/membela diri), bukan perang ofensif (memulai peperangan).
Pendapat tersebut keliru karena beberapa sebab berikut:
Pertama: dalil tentang jihad, seperti apa yang telah diuraikan, merupakan dalil yang berbentuk umum dan mutlak, mencakup perang defensif maupun perang ofensif, yakni memulai perang terhadap musuh. Oleh karena itu, pengkhususan dan pembatasannya hanya sebatas perang defensif membutuhkan nash yang men-takhsîs-nya/mengkhususkannya ataupun membatasinya. Dalam hal ini, tidak ada nash yang mengkhususkan ataupun membatasinya, baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah.
Kedua: di samping nash-nash yang telah dipaparkan sebelumnya, yang menunjukkan jihad sebagai perang ofensif, terdapat juga nash-nash berikut yang menunjukkan makna yang sama, terutama ayat-ayat yang ada dalam surat at-Taubah. Sebab, surat ini termasuk surat-surat al-Quran yang terakhir turun berkaitan dengan tema jihad sehingga tidak ada tempat lagi bagi suara-suara yang mengatakan perihal takhsîs (pengkhususan), taqyîd (pembatasan) ataupun naskh (penghapusan)-nya. Contohnya dapat ditemukan dalam QS at-Taubah [9]: 29; QS at-Taubah [9]: 73; QS at-Taubah [9]: 123.
Ayat-ayat ini datang dengan seruan perang dalam bentuk yang umum dan mutlak. Artinya, ia mencakup perang defensif maupun perang ofensif. Karena ayat-ayat ini turun paling akhir, jelas ia tidak bisa di-takhshîsh, di-taqyîd, ataupun di-naskh oleh ayat-ayat mengenai jihad defensif—sebagaimana yang disebutkan di atas—yang turun lebih awal. (Lihat: Muhammad As-Suwayki, Al-Khalâsh wa Ikhtilâf an-Nâs, hlm. 200).
Dengan penjelasan di atas, jelaslah bahwa jihad dalam Islam tidak sekadar bersifat defensif, tetapi juga ofensif. Bahkan dengan jihad ofensiflah Islam dapat tersebar luas ke seluruh dunia; mulai dari jazirah Arab, Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, hingga bahkan ke Eropa; dari mulai perbatasan Cina di Timur hingga Andalusia di Barat; serta dari Laut Arab di Selatan hingga Kaukasus di Utara.
Jika demikian, apakah tindakan terorisme atas nama jihad bisa dibenarkan? Tentu tidak! Pasalnya, jihad dalam konotasi perang tetap mensyaratkan sejumlah hal, antara lain berlangsung dalam wilayah perang, bukan dalam wilayah damai seperti di Indonesia.
Terorisme Bukan Jihad, Jihad Bukan Terorisme
Dari sedikit paparan di atas, jelas sekali bahwa tindakan terorisme (seperti melakukan berbagai peledakan bom ataupun bom bunuh diri di wilayah Indonesia) bukanlah termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya: (1) Tindakan tersebut dilakukan bukan dalam wilayah perang; (2) Tindakan tersebut nyata-nyata telah mengorbankan banyak orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh. Tindakan ini haram dan termasuk dosa besar (QS al-Isra’ [17]: 33; QS. an-Nisa’ [4]: 93; QS an-Nisa’ [4]: 29).
Bahkan, jika pun korbannya adalah orang non-Muslim yang terkategori dzimmi, tetap tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang membunuh kafir dzimmi tanpa dia (kafir dzimmi) itu melakukan kejahatan, maka pembunuhnya harus dibunuh. (HR al-Baihaqi).
Jangankah membunuh kafir dzimmi, sekadar menyakitinya pun tetap haram. Sebab, Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Siapa saja yang menuduh tanpa bukti kafir dzimmi, maka hukuman bagi pelakunya di akhirat adalah dicambuk dengan cambuk yang terbuat dari api neraka.” (HR ath-Thabrani).
Deradikalisasi: Proyek Gagal dan Berbahaya
Harus diakui, munculnya banyak kasus tindakan terorisme salah satunya diakibatkan oleh pemahaman sebagian Muslim atas jihad yang di luar konteksnya. Namun, upaya deradikalisasi—dengan menyederhanakan makna jihad sekadar pada makna bahasanya semata-mata sebagai sungguh-sungguh atau mengerahkan kemampuan dan tenaga untuk meraih tujuan—tidak akan bisa menghentikan aksi-aksi kekerasan atas nama agama tersebut. Upaya deradikaliasi semacam ini akan kontraproduktif dan berbahaya.
Apalagi jika deradikalisasi kini mulai menyasar buku-buku Islam. Sebab, sejauh ini, di kalangan pesantren sendiri, kitab-kitab yang membahas jihad dengan makna perang tetap menjadi rujukan utama para santri hingga kini. Ini karena pengertian tersebut dipahami para ulama secara langsung dari nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang memang tidak memiliki pengertian lain selain perang, sebagaimana terpapar di atas.
Karena itu, mereka yang memahami secara mendalam makna jihad tentu tidak akan mudah digiring ke arah pemaknaan bahasa semata. Bahkan upaya deradikalisasi dengan ‘menyimpangkan’ makna jihad ini bisa menumbuhkan kecurigaan baru, yaitu sekadar ingin mengelabui umat. Kecurigaan ini bukan sekadar wacana.
Apalagi saat ini proyek deradikalisasi bukan sekadar menyasar terminologi jihad, tertapi juga menyentuh langsung istilah-istilah Islam lainnya yang sudah baku, seperti istilah syariah, thaghut, ulil amri, khilafah, daulah Islam, darul kufur, dll. Atas nama deradikalisasi, makna-makna yang sudah baku selama berabad-abad tersebut, yang bahkan telah menjadi ‘ijmak’ (konvensi) para ulama, kemudian direduksi sedemikian rupa dengan cara-cara yang serampangan.
Karena itu, wajar jika di kalangan beberapa gerakan Islam, upaya-upaya deradikalisasi ini akhirnya sekadar dianggap sebagai kepanjangan tangan dari apa yang mereka sebut sebagai kafir imperialis yang dimotori Amerika Serikat. Tujuannya adalah dalam rangka deislamisasi, yang pada akhirnya melemahkan perlawanan kaum Muslim terhadap imperialisme mereka.
Pemerintah Harus Belajar!
Jelas, jika Pemerintah tetap memaksakan proyek deradikalisasi, selain pasti akan menunai kegagalan, juga amat berbahaya. Yang terjadi boleh jadi proyek tersebut semakin menambah kebencian baru dan lebih luas dari kaum Muslim yang merasa terusik dengan proyek ini karena nyata-nyata sarat dengan upaya menyimpangkan Islam.
Pada gilirannya proyek deradikalisasi malah bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari kaum Muslim, yang tentu tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, jelas bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan konflik antara umat Islam dan Pemerintah. Ini jelas bisa lebih berbahaya daripada terorisme itu sendiri.
Karena itu, yang harusnya dilakukan adalah:
Pertama, seharusnya Pemerintah tidak terus-menerus ikut permainan politik Amerika Serikat atas nama War on Terrorism. Sebab, faktanya Perang Melawan Terorisme yang dikomandani Amerika Serikat terbukti justru memunculkan aksi-aksi teror baru. Sebab, sejak awal Perang Melawan Terorisme adalah ilegal karena didasarkan pada sebuah kebohongan, baik terkait Peristiwa 11 September yang hingga kini masih dipertanyakan keabsahan pelakunya (apakah benar-benar al-Qaidah) maupun terkait senjata pemusnah massal di Irak yang menjadi cikal-bakal Amerika Serikat memulai serangan dan pendudukan atas negeri tersebut, juga atas Afganistan.
Kedua, seharusnya Pemerintah memahami keinginan rakyat, khususnya umat Islam, yang sudah terlalu muak dengan berbagai kondisi yang bobrok yang menimpa bangsa dan negara ini. Maraknya kasus korupsi, perampokan sumberdaya milik rakyat oleh pihak asing, terjadinya banyak kasus amoral (perzinaan, perselingkuhan, pemerkosaan), kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan mahal, dll adalah faktor-faktor yang nyata-nyata menimbulkan frustasi sosial yang bisa berujung pada tindakan radikal dari sebagian kelompok masyarakat. Kita semua tentu tidak menghendaki sejumlah ‘revolusi’ di Timur Tengah yang telah menimbulkan ribuan korban jiwa—terutama karena dipicu tindakan represif aparat—menular ke Indonesia. Yang kita kehendaki adalah perubahan damai ke arah yang lebih baik.
Ketiga, seharusnya Pemerintah sudah saatnya jujur menyadari, bahwa berbagai keterpurukan yang melanda negeri ini adalah akibat syariah Islam tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Pemerintah sejatinya tidak keukeuh untuk berkubang dalam ideologi dan sistem Kapitalisme-liberal yang menjadi biang masalah di negeri ini. Cukuplah krisis dan kebangkrutan Amerika dan Eropa saat ini menjadi bukti tak terbantahkan dari kegagalan ideologi dan sistem Kapitalisme, justru di negeri asalnya.
Karena itu, daripada negeri ini nantinya makin terpuruk akibat terus-menerus menerapkan ideologi dan sistem Kapitalisme-liberal, Pemerintah sejatinya segera berpaling pada syariah dan Khilafah yang pasti mampu menyelesaikan semua problem yang mendera bangsa ini, bukan malah memerangi para pejuangnya atas nama proyek deradikalisasi dan kontraterorisme. Jika itu tidak dilakukan, berarti Pemerintah memang tak mau belajar.
Khatimah
Bagi kaum Muslim, proyek deradikaliasasi harus dipahami sebagai bukti kebangkrutan sekaligus kekalahan ideologi Kapitalisme dalam menghadapi ideologi dan sistem Islam.
Karena itu, semua ini seharusnya semakin meyakinkan kaum Muslim tentang kebenaran Islam dan akan kembalinya kemenangan Islam. Tidak mustahil, sebagaimana diprediksi oleh kalangan Barat sendiri, berdirinya kembali Khilafah Islam global—yang akan menggusur seluruh tatanan Kapitalisme global yang diusung Barat—hanya masalah waktu.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []