Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
NAMA lengkapnya adalah Masruq bin al-Ajda al-Hamadani al-Wadii Abu Aisyah al-Kufi (Abu al-Hajjaj al-Mazzi, Tahdzîb al-Kamâl, 27/451-452).
Mengapa dinamai Masrûq? Karena, kata Al-Hafizh Abu Bakar al-Khatib, “Ada yang mengatakan bahwa pada waktu kecil ia pernah hilang diculik. Lalu ditemukan lagi. Karena itu ia dinamakan dengan Masrûq (Yang Diculik) (Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 13/232).
Masruq adalah seorang pengembara dan pencari ilmu, sebagaimana ditutur Amir asy-Syabi, “Aku tidak pernah mengetahui ada orang yang lebih banyak berkelana di berbagai tempat untuk mencari ilmu daripada Masruq.” (Ibn Saad, Thabaqât Ibnu Saad, 6/82).
Masruq juga seorang ahli ibadah, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Ajali, “Dia banyak melakukan shalat hingga kedua kakinya membengkak.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ, 2/95).
Sebagaimana tradisi salafush-shalah, Masruq pun tak pernah meninggalkan shalat malam. Dalam hal ini Al-Amasy bin Abi adh-Dhuha berkata, bahwa Masruq biasa bangun malam dan melakukan shalat layaknya seorang rahib. Dia pernah berkata kepada keluarganya, “Sebutkanlah semua kebutuhan kalian kepadaku sebelum aku melakukan shalat (agar tidak terganggu dalam shalatnya).” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ, 2/96).
Dalam hal itu ia mempunyai kebiasaan sebagaimana dikisahkan Ibrahim bin Muhammad bin Al-Muntasyir, “Masruq biasa memasang hijab antara dia dan anggota keluarganya ketika shalat agar khusyuk dalam shalatnya; meninggalkan mereka dan dunia mereka.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ, 3/96).
Masruq juga banyak berpuasa, sebagaimana juga dinyatakan oleh asy-Syabi, “Masruq bin al-Ajda pernah jatuh pingsan saat ia berpuasa pada musim kemarau. Kemudian saat siuman, putrinya datang dan berkata, “Ayah, makan dan minumlah!” Ia menjawab, “Apa yang kamu inginkan dariku, putriku? Putrinya berkata, “Aku hanya kasihan melihat ayah.” Masruq berkata, “Putriku, aku hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari Allah pada hari yang jaraknya mencapai lima puluh ribu tahun (Hari Kiamat).” (Abu Bakar al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 13/234).
Masruq tak pernah berhenti beribadah hingga—sebagaimana dikisahkan oleh Abu Ishaq, “Ketika Masruq menjalankan ibadah haji, ia tidak pernah tidur kecuali dalam keadaan bersujud.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ‘, 2/95).
Masruq adalah orang yang sangat zuhud. Salah satu buktinya, sebagaimana diceritakan oleh Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir, “Suatu ketika Khalil bin Abdullah bin, salah seorang pembesar di Bashrah, memberikan hadiah uang kepada Masruq sebanyak 30 ribu dinar (lebih dari Rp 75 miliar). Meski saat itu dia sangat membutuhkan, ia tidak menerima uang tersebut.”
Begitu zuhudnya, sebagaimana dikisahkan oleh Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir dari ayahnya, “Sungguh ia tidak pernah mengambil gaji dari pekerjaannya sebagai hakim. Ia berpedoman pada firman Allah SWT (yang artinya): Sungguh Allah telah membeli jiwa raga kaum beriman dan harta benda mereka dengan surga (QS at-Taubah [9]: 111).” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/96).
Terkait sikap zuhudnya itu, Hamzah bin Abdullah bin Utbah bin Masud berkata, bahwa Masruq pernah berkata, ”Tidakkah kalian ingin aku beritahu tentang dunia? Dunia adalah apa yang kalian makan, lalu habis; yang kalian pakai, lalu lusuh; yang kalian kendarai, lalu rusak.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/96-97).
Selain zuhud, Masruq pun seorang yang amat pemurah. Tentang ini Abu Ishaq as-Subai berkata, “Saat Masruq menikahkan putrinya dengan Saib bin al-Aqra, Saib memberi Masruq uang 10 ribu dinar (lebih dari Rp 25 miliar). Lalu uang sebanyak itu dipergunakan Masruq untuk membiayai para mujahid Islam dan menyantuni fakir miskin.” (Adz-Dzahabi, Siyar Alâm an-Nubalâ, 4/66).
Masruq juga seseorang yang sangat mencintai kebenaran dan keadilan. Terkait ini Asy-Syabi berkata bahwa pernah Masruq bertutur, “Sungguh saat aku memutuskan suatu hukum di pengadilan yang sesuai dengan kebenaran atau aku mendapatkan kebenaran (dalam berijtihad), itu lebih aku sukai daripada berjuang selama setahun di jalan Allah.” (Ibn Saad, Thabaqât Ibnu Saad, 6/82).
Terakhir, sebagaimana dinyatakan oleh Ibrahim bin Muhammad bin al-Muntasyir, Masruq pernah memberikan nasihat, “Tidak ada yang lebih baik bagi seorang Mukmin daripada kuburan yang dapat ia jadikan tempat beristirahat dari kebisingan dunia dan di dalamnya ia aman dari siksa Allah.” (Al-Ashbahani, Hilyah Al-Awliyâ’, 2/97).
Menurut Sufyan bin Uyainah, Masruq meninggal dunia pada tahun 63 Hijrah (Ibn Saad, Thabaqât Ibnu Saad, 6/84).
Semoga seluruh keagungan Masruq bin al-Ajda bisa kita teladani. Amiiin.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []
=======================================
Yuk Gabung Channel ⤵
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar
➡ Website Resmi:
https://ariefbiskandar.com
Yuk Beramal Jariyah ⤵:
berbagi.link/amaljariyah
Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.