Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
HIDUP itu nikmat. Panjang umur itu nikmat. Sehat itu nikmat. Memiliki tubuh sempurna serta wajah yang tampan atau cantik itu nikmat. Mempunyai harta banyak itu nikmat. Memiliki rumah indah, mobil mewah, tanah yang luas dan segala kekayaan itu nikmat. Mempunyai anak dan istri itu nikmat. Memiliki waktu luang pun nikmat.
Namun, hendaklah setiap Muslim ingat, bahwa seluruh nikmat itu pada akhirnya akan hancur dan lenyap. Kematianlah yang menghancurkan dan melumat habis seluruh nikmat di dunia ini. Karena itulah seorang Muslim hendaknya banyak mengingat-ingat penghancur nikmat tersebut, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah saw., “Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (yakni kematian, pen.).” (HR at-Tirmidzi).
Mengapa kita harus banyak mengingat kematian sebagai penghancur segala kenikmatan duniawi? Tidak lain agar kita tidak terlalu disibukkan oleh perburuan atas segala kenikmatan duniawi yang bakal lenyap itu sehingga melupakan mengejar kenikmatan hakiki di akhirat nanti, yakni surga yang abadi.
Setiap manusia pasti bakal mati. Kematian adalah pintu manusia menuju akhirat dengan meninggalkan dunia yang fana dan penuh dengan tipudaya ini (QS Ali Imran [3]: 185).
Bagi seorang Mukmin atau Muslim yang bertakwa, kematian tentu tak perlu dikhawatirkan. Yang pantas dan layak ditakutkan adalah sejauh mana amal shalih yang dilakukan saat di dunia sebagai bekal menghadap Allah SWT pada Hari Kiamat nanti (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 18).
Sebabnya, di akhirat nanti akan banyak manusia yang menyesali dirinya sendiri karena kurangnya amal shalih yang dia lakukan saat di dunia. Allah SWT berfirman: (yang artinya): (Demikianlah) hingga jika datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku bisa berbuat amal salih yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang dia ucapkan saja (TQS al-Mu’minun [23]: 99-100).
Karena itu, Baginda Nabi Muhammad saw. mengingatkan kita, “Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau seperti orang yang berada dalam perjalanan.” (HR al-Bukhari dan at-Tirmidzi).
Alhasil, bagi seorang Muslim, hidup di dunia ini hakikatnya ia seperti orang asing. ‘Tanah air’-nya yang hakiki adalah akhirat. (Muhammad bin ‘Alan, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, III/7).
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []