Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar

(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).

BANYAK orang masih menilai kekayaan berdasarkan banyaknya harta. Penilaian tersebut sebetulnya khas orang-orang kapitalis sehingga tidak cocok dijadikan standar oleh seorang Muslim. Sebabnya, bagi seorang Muslim, nilai ruhiah jauh lebih layak dijadikan ukuran kekayaan. Karena itu, kata Nabi saw., Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia, namun dengan hati yang selalu merasa cukup.” (HR al-Bukhari).

Dalam sebuah riwayat, Abu Dzar bertutur: Rasulullah saw. pernah bertanya kepadaku, “Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya?” Abu Dzar menjawab, “Betul.” 

Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” Abu Dzar menjawab lagi, “Betul.” 

Lalu Rasul saw. bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kaya hati (selalu merasa cukup). Adapun fakir adalah fakirnya hati (selalu merasa tidak puas).” (HR Ibnu Hibban).

Karena itu hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Pasalnya, begitu banyak orang yang kaya harta tidak pernah merasa puas. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk terus menambah harta, kadang tak peduli halal-haram. Orang semacam ini hakikatnya miskin karena tak pernah merasa cukup.

Alhasil, orang yang kaya adalah yang kaya hati. Kaya hati berawal dari sikap selalu ridha dan menerima segala ketentuan Allah SWT. Ia tahu bahwa apa yang Allah berikan kepada dirinya, itulah yang terbaik.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []

=======================================

Yuk Gabung Channel ⤵
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar

➡ Website Resmi:
https://ariefbiskandar.com

Yuk Beramal Jariyah ⤵:
berbagi.link/amaljariyah

Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.