Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
Ya Allah, jadikanlah amalku salih, dan jadikanlah ia ikhlas semata-mata karena Wajah-Mu (Umar bin al-Khaththab).
Allah SWT berfirman:
Iblis berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku pasti akan menyesatkan mereka (anak-anak Adam) semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu dari kalangan al-mukhlashîn di antara mereka.” (QS Shad [38]: 82-83).
Dalam tafsirnya, al-Qurthubi menafsirkan kata al-mukhlashîn di ujung ayat ini sebagai orang-orang yang ditanamkan (dalam kalbunya) keikhlasan oleh Allah SWT dalam mengabdi kepada-Nya (al- Qurthubi, XV/229). Dengan demikian, al-mukhlashîn maknanya adalah al-mukhlishîn (orang-orang ikhlas). Betapa tingginya kedudukan al-mukhlashîn/al-mukhlishîn ini sehingga Iblis pun tidak sanggup
untuk menyesatkan mereka. Betapa luhurnya kedudukan ikhlas, dalam doanya, Umar bin al-Khaththab sering bermunajat, “Ya Allah, jadikanlah amalku salih, dan jadikanlah ia ikhlas semata-mata karena Wajah-Mu.” (Fauzi Sinuqarth, At-Taqarrub ilâ Allâh, hlm. 11).
Betapa agungnya ikhlas dalam amalan seorang hamba, para ulama menaruh perhatian yang luar biasa dalam masalah ini. Banyak buku diterbitkan hanya untuk membahas seputar masalah ikhlas.
Ikhlas—pelakunya disebut dengan mukhlish—adalah kata yang sering kita ucapkan dan kita dengar. Ikhlas sering didefinisikan oleh para ulama dengan: beramal semata-mata karena Allah.
Ikhlas adalah amalan kalbu. Meski tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT, ikhlas sesungguhnya dapat dideteksi dari amalan lahiriah pelakunya. Meski tampak sederhana, ikhlas sesungguhnya bukan sekadar tidak riya’ atau sum‘ah. Artinya, seorang yang mukhlish tidak sekadar amalnya tidak dimaksudkan agar dilihat orang (riya’) atau didengar orang (sum‘ah). Lebih dari itu, ikhlas sebetulnya mengandung konsekuensi yang tidak ringan.
Ketika Anda ikhlas dalam beramal, yakni beramal semata-mata karena Allah, berarti Anda harus benar-benar menunjukkan bahwa amal Anda semata-mata dipersembahkan hanya untuk-Nya, bukan untuk selain-Nya. Pertanyaannya: Apakah sesuatu yang dipersembahkan hanya untuk Allah itu cukup yang biasa-biasa saja, minimalis, dan terkesan ‘asal-asalan’? Ataukah sesuatu yang dipersembahkan khusus untuk Allah itu harus yang berkualitas, istimewa dan optimal?
Ketika seseorang mempersembahkan sesuatu hanya khusus bagi orang yang dia cintai, ia tentu akan mempersembahkan yang terbaik dan istimewa untuknya; bukan yang biasa-biasa saja, apalagi yang berkualitas buruk. Demikian pula seseorang yang ikhlas, yang mempersembahkan amalnya hanya untuk Allah, Penciptanya; ia hanya akan mempersembahkan amalan terbaik dan istimewa untuk-Nya. Shalatnya shalat yang istimewa. Sedekahnya sedekah yang istimewa. Shaumnya sahum yang istimewa. Dakwahnya dakwah yang istimewa. Demikian seterusnya. Walhasil, ikhlas sesungguhnya harus berbuah ihsân, yakni melakukan amalan terbaik sesuai dengan yang Allah kehendaki.
Jika dikaitkan dengan aktivitas dakwah, dakwah yang ikhlas adalah dakwah yang berkualitas, yang terbaik dan optimal. Seorang da’i yang ikhlas—yang berdakwah semata-mata karena Allah SWT—akan senantiasa melakukan dakwah yang berkualitas, yang terbaik dan optimal untuk dipersembahkan kepada-Nya. Singkatnya, ia akan ihsân dalam dakwahnya. Sebaliknya, seorang da’i yang tidak ikhlas, atau kurang ikhlas, adalah yang amalan dakwahnya ‘biasa-biasa’ saja, ‘asal-asalan’ dan minimalis; seolah-olah dakwahnya bukan karena Allah SWT. Padahal dakwah adalah aktivitas yang amat mulia (QS Fushshilat [41]: 33). Lebih dari itu, dakwah adalah fardhu—bukan sunnah—bagi kaum Muslim. Bahkan dakwah adalah kewajiban yang—tidak bisa tidak—harus dilakukan; ia tidak bisa diganti dengan suatu kafarah (tebusan) apapun jika ditinggalkan. Wajar jika para nabi dan para rasul Allah SWT menjadikan dakwah sebagai poros hidup mereka. Ini, antara lain, tergambar dari ucapan Nabi Nuh as., sebagaimana terekam dalam firman Allah SWT:
“Tuhanku, sesungguhnya aku telah mendakwahi kaumku siang-malam” (QS Nuh [71]: 5).
Disebutkan bahwa Nabi Nuh as. berdakwah tidak kurang dari 950 tahun! Itu ia lakukan siang-malam! Demikian pula yang dilakukan oleh Baginda Nabi saw. selama 23 tahun sejak Beliau diangkat sebagai rasul Allah. Ini sekaligus menunjukkan betapa ikhlasnya para nabi dan rasul Allah dalam menjalankan aktivitas dakwahnya. Jika tidak, mana mungkin mereka mempertaruhkan usia, tenaga, pikiran, harta bahkan nyawa mereka di jalan dakwah?!
‘Alla kulli hâl, semoga setiap diri kita benar-benar dijadikan oleh Allah SWT sebagai seorang yang benar-benar mukhlish, yang senantiasa mengikhlaskan seluruh amal-amal kita semata-mata karena Allah SWT, dengan mempersembahkan amal yang terbaik untuk-Nya, bukan yang minimalis! Wa mâ tawfîqi illâ billâh. []
=======================================
Yuk Gabung Channel
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar
Website Resmi:https://ariefbiskandar.com/
Yuk Beramal Jariyah :
https://darunnahdhah.or.id/donasi/
Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.