Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
UMAT ini, sepanjang sejarahnya, telah sering diuji dengan yang namanya perbedaan pendapat. Adakalanya mereka lulus dari ujian perbedaan pendapat tersebut. Adakalanya sebaliknya: gagal. Kegagalan tersebut kadang berujung saling menyalahkan dan mengalahkan, saling bertengkar, saling mem-bully, bahkan saling mempersekusi. Padahal perbedaan yang terjadi seringnya hanya dalam masalah furuu’uddiin (cabang-cabang agama). Bukan dalam masalah ushuuluddiin (pokok-pokok agama).
Mengapa perbedaan pendapat dalam masalah furuu’ (cabang) sering berujung pertikaian? Tidak lain karena telah hilangnya adab al-ikhtilaaf (berbeda pendapat) di tengah-tengah kaum Muslim. Bukan saja di kalangan awamnya. Bahkan kerap terjadi di kalangan para tokoh (ulama)-nya. Tak ada lagi toleransi. Apalagi saling menghormati dalam perbedaan pendapat. Tak ada lagi proses tabayyun, musyawarah dan dialog. Tak ada lagi diskusi dan saling adu argumentasi seraya tetap saling bersikap rendah hati. Semua perbedaan seolah harus diakhiri dengan pertikaian.
Mereka seolah tak pernah belajar dari generasi salafush-shaalih, bagaimana santunnya mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat. Kalaupun terjadi diskusi atau perdebatan, hal itu mereka lakukan secara elegan dengan tetap memperhatikan adab/akhlak. Tak saling mencela. Apalagi saling menista. Tak saling mem-bully. Apalagi saling mencaci. Tak saling menyalahkan. Apalagi saling menyesatkan/mengkafirkan. Tentu selama perbedaan mereka hanya menyangkut perkara-perkara cabang (furuu’iyyah). Ukhuwah Islamiyah tetap mereka junjung tinggi. Sebaliknya, fanatisme (ashabiyah) mazhab, kelompok atau organisasi tak pernah terlintas di hati mereka sama sekali.
Cobalah renungkan sekali ini. Di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), misalnya, setidaknya ada empat mazhab terkemuka: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Para pendiri/imam mazhab tersebut sebagiannya bahkan guru dan murid. Imam Malik adalah guru Imam Syafii. Imam Syafi’i adalah guru Imam Ahmad bin Hanbal. Meski demikian, dalam banyak hal masing-masing punya pendapat sendiri-sendiri. Saling berbeda satu sama lain. Masing-masing juga punya banyak murid dan pengikut.
Namun, tak pernah terdengar bahwa mereka saling berkonflik, saling bertengkar fisik atau saling mempersekusi. Yang terjadi justru sebaliknya. Adab al-ikhtilaaf selalu mereka junjung tinggi. Tak jarang mereka saling memuji. Padahal sebelumnya mereka saling alot berdebat dan berdikusi. Dengan begitu perbedaan di antara mereka tampak indah. Sama sekali jauh dari aroma fitnah dan pecah-belah.
Tengoklah Imam Syafii rahimahulLaah, misalnya. Yunus bin Abdul Ala ash-Shadafi, salah seorang sahabat Imam Syafii, pernah bertutur:
Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Imam Syafii. Suatu hari aku pernah alot berdebat dengan beliau. Lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata, ”Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah?” (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalaa, 10/16-17).
Imam Syafii, dalam safarnya ke Irak, selama beberapa minggu, beliau menunaikan shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah rahimahulLaah tanpa melakukan qunut (sebagaimana mazhab beliau). Hal itu beliau lakukan semata-mata demi menghormati Imam Abu Hanifah yang berpendapat tidak ada qunut dalam shalat subuh. Padahal Imam Abu Hanifah telah lama wafat (Lihat: Ad-Dahlawi, Al-Inshaaf fii Bayaan Asbaab al-Ikhtilaaf, hlm. 110).
Para ulama Mazhab Syafii (juga beberapa ulama lain) berpendapat bahwa wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari Surat al-Fatihah. Namun demikian, mereka biasa shalat bermakmum di belakang para imam shalat di Kota Madinah yang bermazhab Maliki.
Padahal para imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Surat al-Fatihah, baik pelan maupun keras (Lihat: Ad-Dahlawi, Al-Inshaaf fii Bayaan Asbaab al-Ikhtilaaf, hlm. 109).
Imam Syafii, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, pernah berpesan, “Jika kalian menjumpai dalam kitabku sesuatu yang menyalahi Sunnah Rasul saw. maka ambillah Sunnah Rasul tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.”
Dengar juga pesan Imam Malik bin Anas rahimahulLaah, guru Imam Syafii, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, yang dinukil dalam Kitab Al-Manaar (4/572), “Sungguh aku adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah, ambillah. Sebaliknya, setiap pendapatku yang menyalahi al-Quran dan as-Sunnah, tinggalkanlah!”.
Perhatikan pula Imam Abu Hanifah rahimahulLaah. Sebagaimana diceritakan oleh Imam Syaukani, yang dinukil dalam Kitab Al-Qawl al-Mufiid (hlm. 23), Imam Abu Hanifah pernah ditanya oleh salah seorang muridnya tentang bagaimana sikap yang harus dilakukan jika ternyata fatwa atau hasil ijtihad beliau di kemudian hari menyalahi al-Quran atau as-Sunnah? Beliau tegas menjawab, “Tinggalkanlah pendapatku!”
Dalam menghadapi perbedaan pendapat, Imam Sufyan ats-Tsauri _rahimahulLaah_ juga bersikap, ”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan di antara para ulama fikih, aku tidak pernah melarang seorang pun di antara murid-muridku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada.” (Lihat: Al-Khathib al-Baghdadi, Al-Faqiih wa al-Mutafaqqih, 2/69).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qadhi Abu Utsman al-Baghdadi–meskipun termasuk ulama besar dan hakim mazhab Maliki–sering mengunjungi Imam ath-Thahawi yang bermazhab Hanafi untuk menyimak karya-karya beliau (Lihat: Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari, Maqaalaat al-Kawtsari, hlm. 348).
Para ulama dulu bahkan pantang menggunakan kekuasaan duniawi untuk memonopoli dan memaksa pikiran orang banyak agar bersedia menerima pendapat (mazhab)-nya. Imam Malik, misalnya, ketika Khalifah Harun al-Rasyid bermaksud mendekritkan kitabnya, Al-Muwaththa, dan Mazhab Maliki sebagai “mazhab resmi negara” yang harus dianut oleh seluruh warganya, beliau amat berkeberatan dan meminta agar Khalifah jangan melakukan hal itu (Lihat: Ibnu Abdil Barr, Jaami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 209-210).
Adab para ulama dulu dalam menyikapi ikhtilaf/perbedaan pendapat terangkum dalam pernyataan Imam Yahya bin Said al-Anshari yang berkata, “Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap. Mereka sering berbeda pendapat sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun, mereka tidak pernah saling mencela satu sama lain.” (Lihat: Ibnu Abdil Barr, Jaami Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi, hlm, 393).
Terakhir, menarik apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulLaah, ”Andai setiap kali dua orang Muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan saling memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikit pun ikatan ukhuwah islamiyah di antara mereka.” (Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmuu’ al-Fatawaa, 24/173).
Alhasil, jika para ulama–bahkan para mujtahid–terkemuka pada masa lalu begitu santun dan indah dalam menyikapi perbedaan pendapat, lantas siapalah kita–yang jelas-jelas bukan ulama besar apalagi mujtahid seperti mereka–jika kita tidak meneladani adab mereka dalam perbedaan pendapat?!
Wa maa tawfîiqii illaa bilLaah, ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []