Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
IBRAHIM BIN ADHAM rahimahulLaah adalah seorang ulama besar yang tsiqah, wara‘ dan zuhud. (Lihat: Al-Khathib al-Baghdadi, Taariikh Baghdaad, 3/219).
Ia dikenal sebagai salah seorang Sulthaan al-Awliyaa’. Bahkan menisbatkan Sulthaan al-Awliyaa‘ kepada Ibrahim bin Adham (w. 206 H) telah amat populer (Lihat: Muhammad bin Abu Bakar bin Khilkan, Wafiyaat al-A’yaan, 1/32).
Banyak kisah menarik yang menggambarkan keluhuran kepribadian Ibrahim bin Adham. Demi menjaga keikhlasan, jika ia ikut terlibat dalam peperangan (jihad), misalnya, usai perang ia tidak mengambil ghaniimah (rampasan perang) yang menjadi haknya. Hal itu ia lakukan demi meraih kesempurnaan pahala jihad (Lihat: Ibn al-Jauzi, Talbiis Ibliis, 1/180).
Suatu saat Ibrahim bin Adham pergi safar untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah (Makkah). Saat itu ia berpapasan dengan seorang Arab dusun yang mengendarai seekor unta. Orang itu berkata, “Syaikh, mau kemana?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Ke Baitullah.”
Orang itu bertanya lagi, “Anda ini seperti tak waras. Saya tidak melihat Anda membawa kendaraan, juga bekal, sementara perjalanan sangat jauh.”
Ibrahim kembali berkata, “Sebetulnya saya memiliki beberapa kendaraan. Hanya saja, engkau tidak melihatnya.”
Orang itu bertanya, “Kendaraan apa gerangan?”
Ibrahim bin Adham berkata, “Jika di perjalanan aku tertimpa musibah, aku menaiki kendaraan sabar. Jika di perjalanan aku mendapatkan nikmat, aku menaiki kendaraan syukur. Jika di perjalanan Allah SWT menetapkan suatu qadhâ‘ untukku, aku menaiki kendaraan ridha.”
Orang Arab dusun itu lalu berkata, “Jika demikian, dengan izin Allah, teruskan perjalanan Anda, Syaikh. Anda benar-benar berkendaraan. Sayalah yang tidak berkendaraan.” (Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafaatîh al-Ghayb, 1/234).
Itulah tiga “kendaraan” Ibrahim bin Adham: sabar, syukur dan ridha. Ketiganya adalah “kendaraan” yang cukup mewah. Sebabnya, tak semua orang bisa memiliki “kendaraan” tersebut saat melakukan safar, apalagi saat menempuh perjalanan hidup di dunia ini.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah, ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []