Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
CINTA (al-hubb, al-mahabbah) kata Imam Syafii, menggiring orang untuk mengikuti apa pun titah yang dicinta. “Inna al-muhibbi lima yuhibbuhu muthi’.”
Cinta itu akan lebih berharga dan berarti bila ditujukan kepada Rasulullah saw. Sebabnya, mencintai beliau—tentu dibuktikan dengan menaati beliau—adalah bukti kita mencintai Allah SWT.
Allah SWT berfirman: Katakanlah (Muhammad), “Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku…” (QS Ali Imran [3]: 31).
Selain sebagai bukti cinta kepada Allah SWT, cinta kepada Nabi saw. juga karena satu hal lain: karena besarnya cinta beliau kepada kita.
Allah SWT berfirman (yang artinya):
Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. Berat terasa oleh dia penderitaan kalian. Dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Dia amat belas kasihan lagi penyayang kepada kaum Mukmin (TQS at-Taubah [9]: 128).
Dalam ayat di atas, frasa ‘aziz[un] ‘alayhi ma ‘anittum (Berat terasa oleh dia penderitaan kalian) menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sangat bersedih ketika melihat umatnya, termasuk kita, dalam keadaan susah. Juga saat umatnya bergelimang dosa (Ibnu al-Jauzi, Zad al-Masir, 3/247).
Perlu dipahami, kata “umat Rasulullah saw.” tak hanya meliputi kaum Muslim saja, tetapi semua orang yang hidup setelah beliau diangkat sebagai nabi dan rasul hingga Hari Kiamat. Di antaranya kaum Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lain-lain. Beliau sakit karena sedih memikirkan umatnya yang tidak masuk Islam (Lihat: QS asy-Syu’ara [26]: 3).
Beliau sedih jika ada umatnya masuk neraka karena kekafiran dan kefasikan mereka.
Lalu frasa haris[un] ‘alaykum (Dia sangat menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagi kalian) menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sangat menghendaki semua umat beliau beriman dan senantiasa ada dalam kebaikan (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 7/410).
Keinginan inilah yang membuat beliau berjuang sedemikian rupa. Tentu agar umat beliau, termasuk kita, mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Beliau rela dihina, dikucilkan, disiksa dan diancam dibunuh agar umatnya, termasuk kita, selalu mendapatkan kebaikan.
Bayangkan, beliau tulus mendakwahi umatnya demi kebaikan mereka. Sebaliknya, mereka malah bertindak buruk kepada beliau. Walaupun begitu, beliau tetap mendakwahi mereka dengan penuh rasa sayang.
Inilah makna dari frasa bi al-mu’minin ra’uf[un] rahim[un] (Dia amat belas kasihan lagi penyayang kepada kaum Mukmin). Maknanya, Rasulullah saw. sangat menyayangi umatnya (Al-Jaza’iri, Aysar at-Tafasir, 1/115).
Beliau banyak memberikan kebaikan kepada kita dan khawatir kita mendapatkan keburukan.
Bagaimanapun penderitaan yang beliau rasakan yang ditimpakan oleh umatnya, beliau tetap bersikap baik kepada mereka.
Dalam sebuah hadis disebutkan:
Beliau dipukuli kaumnya hingga berdarah. Namun demikian, sambil menghapus darah dari wajahnya, beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak paham.” (HR al-Bukhari).
Beliau tidak mau umatnya dibinasakan karena menolak dakwah beliau. Padahal umat-umat terdahulu semuanya dibinasakan ketika mereka menolak dakwah para nabi. Misalnya kaum Nabi Nuh as. dibinasakan dengan sebab ditelan banjir besar, kaum Nabi Luth as. dibinasakan dengan sebab hujan batu, dan sebagainya. Hal seperti itu tidak berlaku untuk umat Islam.
Karena itu cinta Nabi saw. kepada umatnya, termasuk kita, tak perlu dipertanyakan lagi. Cukuplah kita mendengar Baginda Nabi saw. di penghujung hayatnya sangat mengkhawatirkan umatnya.
Saat detik-detik kewafatan beliau, yang beliau pedulikan adalah umat beliau. Bukan keluarga beliau. Beliau bertanya kepada Malaikat Jibril, “Bagaimana nasib umatku kelak?” Jibril menjawab, “Jangan khawatir, wahai Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa pun, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya.” (HR ath-Thabarani, Mu’jam al-Kabir, 3/106).
Demikianlah. Betapa besar cinta Rasulullah saw. kepada kita. Betapa besarnya pengorbanan beliau untuk kita. Agar kita bahagia di dunia dan akhirat.
Lalu seberapa besar cinta kita kepada beliau? Seberapa besar pengorbanan kita untuk beliau? Seberapa menderita kita demi membela beliau saat dinista, juga saat syariahnya dicampakkan bahkan dimusuhi, sebagaimana saat ini? Sudahkah semua itu berbanding dengan cinta, pengorbanan dan penderitaan Baginda Nabi saw. semata-mata demi membela kita, tak hanya di dunia, tetapi juga nanti di akhirat?
Semoga saja cinta kita kepada Rasul saw. bukan cjnta palsu. Cinta yang dikalahkan oleh cinta kita pada yang lain (keluarga, harta, jabatan, dll). Jika itu terjadi, sungguh kita sedang mengundang azab Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 24).
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []