Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
Istiqâmah adalah mashdar dari istaqâma–yastaqîmu–istiqâmah. Secara bahasa artinya adalah i’tidâl (lurus). Istiqamah adalah lawan dari i’wijâj (kebengkokan).
Sikap istiqamah adalah sikap yang diperintahkan Allah SWT (Lihat: QS Hud [12]: 112; asy-Syura [42]: 15). Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi pernah meminta kepada Rasul saw. pesan suatu ucapan tentang perkara di dalam agama ini yang bisa dia jadikan pegangan dan dia tidak perlu bertanya tentang yang lain kepada seseorang setelah beliau. Rasul saw. lalu menjawab:
«قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ، ثُمَّ اسْتَقِمْ »
Katakan, “Aku beriman kepada Allah,” kemudian beristiqamahlah (HR Ahmad dan Muslim)
Istiqamah itu hukumnya wajib. Imam an-Nawawi di dalam Riyâdh ash-Shâlihîn mengatakan, “Para ulama berkata, ‘Istiqamah adalah luzûm ath-thâ’ah (menetapi ketaatan).’”
Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam menjelaskan bahwa istiqamah adalah bertindak sesuai dengan jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kiri atau ke kanan, dan hal itu mencakup semua aktivitas ketaatan lahir maupun batin, dan meninggalkan semua yang dilarang.
Di dalam Hasyiyah as-Sindi ‘alâ Sunan Ibn Mâjah disebutkan bahwa istiqamah adalah mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan serta menetapi manhaj yang lurus dengan melaksanakan semua yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang. Dengan demikian, istiqamah yang sempurna dalam segala hal adalah tegak dan lurus di atas keimanan yang benar dan sempurna, melaksanakan dan menetapi semua bentuk ketaatan serta menjauhi semua bentuk kemaksiatan lahir maupun batin dalam semua keadaan dan kesempatan.
Keistiqamahan yang sempurna seperti itu jelas merupakan sesuatu yang sangat berat. Karenanya, Allah SWT di dalam QS Fushshilat [41]: 6, setelah memerintahkan untuk istiqamah, lalu memerintahkan kita untuk memohon ampunan. Artinya, seorang hamba yang berusaha sungguh-sungguh untuk istiqamah, ia masih mungkin melakukan kebengkokan, karenanya diperintahkan untuk beristighfar. Rasul saw. juga bersabda:
اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا …..
Beristiqamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu (melakukannya secara sempurna) (HR Ahmad, Ibn Majah, ad-Darimi dan Malik).
Karenanya, beliau dalam kesempatan lain bersabda:
« سَدِّدُوا وَقَارِبُوْا »
Beristiqamahlah secara hakiki dan berusahalah mendekati keistiqamahan yang hakiki itu (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kaidah yang harus dijadikan pegangan adalah sabda Rasul saw.:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ »
Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah dan jika aku memerintahkan suatu perkara maka lakukan sesuai kemampuan kalian (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban)
Jadi, kita harus sungguh-sungguh berusaha semaksimal mungkin untuk istiqamah; yaitu menetapi keimanan, tauhid dan akidah Islam yang benar dan lurus; serta menetapi ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Hal ini pada dasarnya adalah hakikat ketakwaan itu sendiri.
Para ulama menjelaskan, agar bisa tetap istiqamah, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama: mewujudkan keimanan yang benar, lurus dan berpengaruh. Keimanan harus senantiasa diperbarui. Keistiqamahan akan berbanding lurus dengan benar dan lurusnya keimanan serta tingkat pengaruh keimanan itu dalam diri kita. Dalam hal ini amal-amal ibadah dan zikir sangat besar faedahnya.
Kedua: menjaga keikhlasan semata karena Allah dan untuk meraih ridha-Nya. Sebab, setan tidak akan bisa menggoda hamba-Nya yang ikhlas (QS al-Hijr: 39-40; Shad [38]: 82-83).
Ketiga: menuntut ilmu syariah, ilmu tentang halal dan haram. Sebab, seseorang tidak mungkin berlaku lurus tanpa mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Kemudian berpegang pada kaidah amal, yaitu berpikir dan mencari tahu hukumnya, baru memutuskan untuk mengambil dan melakukannya atau tidak.
Keempat: senantiasa membina kesabaran dalam segala keadaan saat mendapat kenikmatan maupun ketika tertimpa musibah; terus membangun sikap qanâ’ah (rasa syukur dan merasa cukup) atas pemberian dari Allah SWT.
Kelima: teman dan lingkungan yang salih dan kondusif untuk istiqamah. Sebab, orang-orang Mukmin saling tolong-menolong di antara mereka di dalam keimanan dan ketaatan. Rasul juga bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ »
Seseorang itu sesuai dengan agama temannya. Karena itu, hendaklah siapapun dari kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Di sinilah pentingnya berjamaah. Para ulama memperingatkan bahwa setan lebih mudah memperdaya orang yang sendirian dan jauh dari orang yang berjamaah.
Keenam: senantiasa instrospeksi diri sendiri sehingga dengan cepat akan bisa tahu dan sadar akan terjadinya penyimpangan.
Ketujuh: berdoa memohon kepada Allah perlindungan dari kebengkokan dan memohon taufik, pertolongan dan bantuan Allah untuk bisa istiqamah. []
=======================================
Yuk Gabung Channel
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar
Website Resmi: https://ariefbiskandar.com/
Yuk Download Ebook Gratis : https://lynk.id/uabi
Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.