Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

Bertakwalah dalam segala keadaanmu! (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi).

Di dunia ini akan selalu ada empat golongan manusia: (1) golongan kaya/berkecukupan, termasuk para raja/penguasa, pejabat atau bangsawan; (2) golongan fakir, miskin dan dhuafa; (3) golongan budak, buruh, pelayan atau mereka yang berada dalam kekuasaan/kendali pihak lain; (4) golongan yang menderita, baik lahir maupun batin.

Keempat golongan ini pun terdapat di tengah-tengah kaum Muslim. Takwa tentu diperintahkan kepada semuanya, termasuk keempat golongan ini. Perintah Allah SWT tentu juga berlaku bagi semuanya. Di antaranya adalah perintah untuk menjalankan ibadah dan dakwah. Dalam kondisi apapun tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak menjalankan kedua aktivitas ini. Sebab, kedua aktivitas ini adalah kewajiban yang juga telah diteladankan oleh Baginda Rasulullah saw. dan para Sahabatnya.

Orang kaya, para raja/penguasa, pejabat atau bangsawan tidaklah layak berdalih bahwa ia tidak sempat beribadah dan berdakwah karena terlalu sibuk mengurus, mengelola dan memelihara kekayaan atau kekuasaannya. Jika ini dijadikan dalih, pantaslah ia malu kepada Nabi Sulaiman as. Sebab, di dunia ini, Nabi Sulaimanlah yang paling kaya. Nabi Sulaiman pula yang paling berkuasa, bukan hanya atas manusia, tetapi juga atas jin. Namun, toh semua tahu bahwa Nabi Sulaiman as. adalah ahli ibadah dan hamba Allah yang selalu taat kepada-Nya. Sebagai seorang nabi, tentu beliau juga menjadikan dakwah sebagai aktivitas utamanya. Lihat pula generasi para Sahabat yang kaya-raya: Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dll. Mereka bukan saja ahli ibadah dan aktivis dakwah. Mereka bahkan menjadikan semua kekayaannya sebagai sarana untuk makin mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berjihad di jalan-Nya.

Orang fakir, miskin dan dhuafa juga tak pantas berdalih bahwa ia tidak sempat beribadah dan berdakwah karena ia terpaksa ’disibukkan’ oleh kemiskinan, kefakiran dan kedhuafaannya; yakni sibuk mengatasi kekurangan hartanya. Jika ini dijadikan alasan, pantaslah ia malu kepada Nabi Isa as. yang hidup dalam kebersahajaan; tidak punya harta, rumah bahkan istri. Namun, kita pun mafhum, Nabi Isa as. adalah ahli ibadah. Sebagai seorang nabi, beliau pun tentu menjadikan dakwah sebagai poros kehidupannya. Lihat pula generasi Sahabat dari kalangan fakir, miskin dan dhuafa seperti ahlush-shuffah. Mereka bukan saja ahli ibadah dan tetap berdakwah. Bahkan mereka menjadikan keserbakurangan mereka itu sebagai ”wasilah” untuk semakin dekat dengan Allah SWT dan meraih ridha-Nya melalui dakwah dan jihad fi sabilillah.

Seorang budak, buruh, pelayan atau mereka yang berada dalam kendali/kekuasaan pihak lain juga tak layak berdalih bahwa ia tidak bisa beribadah dan berdakwah karena kondisi mereka yang berada dalam kekuasaan/kendali pihak lain. Jika ini dijadikan alasan, pantaslah ia malu kepada Nabi Yusuf as. Beliau pernah dipenjara sekian lama dan berada dalam kungkungan kekuasaan penguasa pada zamannya. Namun, toh beliau tetap seorang ahli ibadah. Tentu beliau pun tak pernah meninggalkan dakwah karena beliau memang seorang nabi yang tugas utamanya menyampaikan risalah Ilahi. Lihat pula generasi Sahabat dari kalangan hamba sahaya atau pelayan. Status mereka sebagai hamba sahaya atau pelayan tidak menghalangi mereka untuk selalu rajin ibadah dan menjalankan aktivitas dakwah mereka. Lihat pula generasi para ulama pejuang seperti Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Ibn Taimiyah yang pernah beberapa kali dipenjara. Penjara justru membuat mereka makin dekat dengan Allah SWT. Penjara pun tetap menjadi medan dakwah bagi mereka.

Seorang yang menderita, baik lahir maupun batin, juga tak bisa berdalih bahwa ia tidak melakukan ibadah dan berdakwah karena penderitaan yang mereka alami. Jika ini dijadikan alasan, pantas pula jika ia malu kepada Nabi Ayyub as. yang bertahun-tahun diuji oleh Allah SWT dengan suatu penyakit yang sangat parah dan merepotkan dirinya. Lihat pula generasi Sahabat yang memiliki kekurangan fisik seperti Abdurrahman bin Mas’ud yang kakinya pincang. Toh semua ini tidak pernah menghalangi mereka
untuk selalu taat kepada Allah SWT serta berdakwah dan berjihad di jalan-Nya.

Maka dari itu, pantaslah kita mengamalkan sabda Baginda Rasulullah saw., ”Bertakwalah dalam segala keadaanmu!” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi).

Dalam Tuhfah al-Awadzi bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidzi, disebutkan bahwa frasa ”dalam segala keadaanmu” (haytsumma kunta) maksudnya dalam keadaan lapang/sempit, senang/susah, ataupun riang-gembira/saat tertimpa bencana (Al-Mubarakfuri, VI/104).

Wa mâ tawfîqî illâ billâh. []

=======================================

Yuk Gabung Channel ⤵
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar

➡ Website Resmi:https://ariefbiskandar.com/

Yuk Download Ebook Gratis : https://lynk.id/uabi

Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.