Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
Seorang Muslim idealnya selalu berusaha menjadi yang terbaik dan yang paling utama. Imannya adalah iman yang terbaik. Amal-amalnya pun amal yang paling utama.
Shalatnya adalah shalat yang paling khusyuk. Hajinya adalah haji yang mabrur. Sedekahnya adalah sedekah dengan harta yang paling bagus. Akhlaknya adalah akhlak yang paling mulia. Nafkahnya adalah yang paling halal dan paling jauh dari syubhat. Dakwahnya adalah dakwah yang paling semangat dan paling lurus. Demikian seterusnya. Jika mereka mampu melakukan semua itu, berarti mereka benar-benar telah meraih hakikat kebajikan. Terkait itu, Allah SWT berfirman (yang artinya): Kalian tidak akan pernah meraih kebajikan hingga kalian menginfakkan (di jalan Allah) apa saja yang kalian sukai (TQS Ali Imran [3]: 92).
Ayat ini memang terkait dengan infak terbaik, yakni membelanjakan harta di jalan Allah dengan apa saja yang paling disukai. Namun demikian, tentu tidak hanya berinfak di jalan Allah, sejatinya dalam hal apapun setiap Muslim melakukan yang terbaik dan paling utama.
Terkait ayat ini, Imam ath-Thabari (VI/90) menukil sebuat riwayat dari penuturan Maymun bin Mahran, bahwa pernah ada seseorang bertanya kepada Abu Dzarr al-Ghifari ra., “Amal apa yang paling utama?” Abu Dzarr menjawab, “Shalat sebagai tiang agama; jihad sebagai penopang Islam; dan sedekah sebagai sesuatu yang menakjubkan.” Abu Dzarr kemudian membaca ayat di atas.
Ibn Katsir di dalam kitab tafsirnya juga menukil riwayat dari penuturan Abu Dzarr ra. yang berkisah: Aku pernah memasuki masjid. Saat itu Rasulullah saw. sedang duduk di masjid sendirian. Aku lalu duduk di samping beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, Mukmin mana yang terbaik?” Beliau menjawab, “Mukmin yang paling mulia akhlaknya.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, Muslim mana yang paling selamat?” Beliau menjawab, “Muslim yang menjadikan manusia lain selamat dari lisan dan tangannya.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, “Hijrah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Hijrah dari berbagai macam keburukan.” Aku bertanya lagi, “Shalat yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalatnya orang yang memanjangkan ‘qunut’-nya.” Aku bertanya lagi, “Shaum yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shaum fardhu (Ramadhan) yang pahalanya dilipatgandakan oleh Allah.” Aku bertanya lagi, “Jihad yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Jihadnya mujahid yang darahnya tertumpah dan kudanya terluka.” Aku bertanya lagi, “Budak yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Yang paling tinggi harganya dan paling menyenangkan tuannya.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, sedekah yang bagaimana yang paling utama?” Beliau menjawab, “Sedekahnya orang yang sedang dalam kesusahan dan yang bersegera dalam menolong orang fakir.” (Ibn Katsir, II/471).
Dalam riwayat lain, Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya, saat menafsirkan QS al-Infithar ayat 13-14 mengisahkan, bahwa Sulaiman pernah bertanya kepada Abu Hazim, “Wahai Abu Hazim, hamba Allah mana yang paling mulia?” Ia menjawab, “Mereka yang senantiasa menjaga muru’ah dan meninggalkan keharaman.” Sulaiman bertanya lagi, “Amal apa yang paling utama?” Ia menjawab, “Menunaikan berbagai kewajiban sekaligus menjauhi berbagai keharaman.” Sulaiman bertanya lagi, “Doa apa yang paling didengar oleh Allah?” Ia menjawab, “Doa orang baik yang ditujukan untuk orang baik.” Sulaiman bertanya lagi, “Sedekah yang bagaimana yang paling utama?” Ia menjawab, “Sedekah yang ditujukan kepada orang yang meminta-meminta karena memang membutuhkan; juga sedekahnya orang yang kesusahan.” Sulaiman bertanya lagi, “Ucapan apa yang paling adil/lurus?” Ia menjawab, “Ucapan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti atau diharapkan (pemberiannya).” Sulaiman bertanya lagi, “Mukmin mana yang paling cerdas?” Ia menjawab, “Mukmin yang senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah serta mengajak menusia lain untuk melakukan hal yang sama.” Sulaiman bertanya lagi, “Mukmin mana yang paling bodoh?” Ia menjawab, “Mukmin yang mengikuti keinginan hawa nafsu saudaranya, padahal ia zalim. Ia lalu menjual akhiratnya demi
memperoleh harta dari orang lain.” (al-Qurthubi, I/338).
Selain itu, berbagai amal itu berlainan dalam hal keutamaannya. Dalam hal ini, Baginda Rasulullah saw. telah menempatkan satu amalan di atas amalan lainnya dalam hal keutamaannya. Beliau, misalnya, sebagaimana penuturan Abu Hurairah ra., pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah SWT.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa?” Kata beliau, “Jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Jawab beliau, “Haji mabrur.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah saw. di atas tegas menyatakan kedudukan ketiga amalan di atas dalam hal keutamaannya. Hadis-hadis senada banyak jumlahnya. Yang pasti, semua itu menunjukkan bahwa melakukan yang terbaik dan paling utama adalah memang dituntut oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Semoga kita bisa melakukannya. Amin. []
=======================================
Yuk Gabung Channel
Whatsapp : https://s.id/ariefbiskandar
Telegram : https://t.me/ariefbiskandar
Website Resmi: https://ariefbiskandar.com/
E-Book Premium : http://lynk.id/uabi/kAEDDpR
Raihlah Pahala Jariyah dengan menyebarkan konten Dakwah ini sebagai bentuk partisipasi & dukungan anda untuk Dakwah Islam.