Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).
Allah SWT berfirman:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
Mereka (kaum Anshar) lebih mengutamakan orang lain (kaum Muhajirin) daripada diri mereka sendiri walau mereka sesungguhnya sangat membutuhkan.
(QS al-Hasyr [59]: 9).
Ibnu Taimiyah rahimahulLaah berkata terkait ayat di atas:
وأمَّا الإيثَار مع الخصاصة فهو أكمل مِن مجرَّد التَّصدق مع المحبَّة، فإنَّه ليس كلُّ متصدِّق محبًّا مؤثرًا، ولا كلُّ متصدِّق يكون به خصاصة، بل قد يتصدَّق بما يحبُّ مع اكتفائه ببعضه مع محبَّة لا تبلغ به الخصاصة (منهاج السنة النبوية، ٩/١٢٩).
Mengutamakan orang lain padahal diri sendiri dalam keadaan sangat membutuhkan (altruisme) adalah sikap yang jauh lebih sempurna (utama) daripada bersedekah yang dibarengi mahabbah (rasa cinta) kepada orang yang diberi sedekah. Sebabnya, tidak selalu orang yang bersedekah yang dibarengi rasa cinta itu berarti dia telah mengutamakan orang yang dia beri sedekah. Tidak selalu pula orang yang bersedekah sesungguhnya dia sendiri sangat membutuhkan. Bahkan sering orang yang bersedekah dengan harta yang dia cintai memang orang yang berkecukupan; tidak dalam kondisi sangat membutuhkan
(Ibnu Taimiyah, Minhaaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, 7/129).
Terkait ayat dan penjelasan Ibnu Taimiyah di atas, Abu al-Hasan al-Anthaqi rahimahulLaah berkisah:
Pernah sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari 30 orang berkumpul di suatu kampung. Mereka hanya memiliki beberapa potong roti yang tidak akan bisa mengenyangkan semua orang (yang sama-sama lapar) yang hadir saat itu. Lalu mereka berinisiatif memotong-motong roti sesuai jumlah orang yang ada. Sebelum memakan roti bersama-sama, mereka kemudian mematikan lampu di ruangan tempat mereka berkumpul. Mereka lalu duduk di sekeliling makanan (roti) yang terhidang (dalam keadaan gelap-gulita). Setelah beberapa saat, lampu dinyalakan kembali. Ternyata roti yang terhidang di hadapan mereka tetap utuh seperti semula (tidak berkurang, apalagi habis). Pasalnya, tidak ada salah seorang pun dari mereka yang memakan roti tersebut karena masing-masing (meski sama-sama lapar) ingin mendahulukan yang lain daripada diri sendiri.
Dalam kisah lain dituturkan:
Masruq rahimahulLaah memiliki sejumlah hutang kepada orang lain. Belakangan ia tahu, sahabatnya, Khaytsamah rahimahulLaah, juga memiliki sejumlah hutang kepada orang lain. Tahu begitu, Masruq segera pergi untuk membayarkan lebih dulu utang Khaytsamah (seraya menunda pembayaran hutangnya sendiri). Hal itu ia lakukan tanpa sepengetahuan Khaytsamah. Saat yang sama, Khaytsamah hendak membayar hutangnya. Namun, saat ia tahu sahabatnya, Masruq, juga ternyata memiliki hutang, ia pun segera pergi untuk membayarkan utang Masruq lebih dulu (seraya menunda pembayaran utangnya sendiri) . Hal itu ia lakukan tanpa sepengetahuan Masruq.
(Al-Ghazali, Ihyaa’ ‘Uluum ad-Diin, 2/174).
Alhasil, satu sama lain saling lebih dulu membayarkan utang sahabatnya, seraya menunda membayar utangnya sendiri, tanpa sepengetahuan masing-masing.
Masya Allah!
Begitulah sikap altruisme. Sikap mengutamakan orang lain meski diri sendiri sangat membutuhkan.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaahi ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []